Bagaimana Manusia Mengenal Dendam? Ini Penjelasan Ilmiahnya
https://www.naviri.org/2021/07/bagaimana-manusia-mengenal-dendam-ini.html
Naviri Magazine - Dendam adalah keinginan untuk membalas suatu perlakuan tidak menyenangkan yang pernah diterima atau dialami. Kadar perlakuan tidak menyenangkan itu bisa ringan sampai berat, begitu pula dendam yang menyertai.
Perasaan dendam bisa dibilang banyak dimiliki manusia. Sebegitu dekat manusia dengan perasaan ini, hingga banyak film yang mengangkat kisah pembalasan dendam. Sebagai manusia, bagaimana sebenarnya makhluk ini bisa mengenal perasaan dendam?
David Chester, ilmuwan dari Virginia Commonwealth University, bersama Nathan DeWall dari University of Kentucky, melakukan riset mengenai dendam yang dirasakan manusia, dan menyebut perasaan itu sebagai “jembatan psikologis” yang hadir antara provokasi hingga agresi benar-benar muncul.
Riset mereka, yang diterbitkan di Jurnal Oxford Academic, menyatakan bahwa orang yang dihina atau ditolak secara sosial akan merasakan sakit emosional. Area di otak yang menjadi penanggung jawab rasa sakit otomatis itu akan menyerukan agresi sebagai pembalasan. Itu merupakan respons yang dibawa manusia sejak purba.
Dalam penelitiannya, David Chester juga mendapati bahwa sakit emosional ternyata memiliki keterkaitan dengan “kenikmatan”. Ketika seseorang mengalami provokasi atau penderitaan dari orang lain, sakit hati memang timbul. Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula perasaan “senang” karena merasa memiliki kesempatan untuk membalas dendam.
Orang bersangkutan akan menganggap sakit hati yang diterimanya sebagai semacam utang, yang memungkinkannya untuk menagih (dalam hal ini membalas dendam), demi keadilan dan kepuasan hati.
Perasaan dendam yang dialami seseorang juga mengaktifkan bagian otak yang bertanggung jawab pada sikap penghargaan, yang disebut nucleus accumbens. Orang yang diprovokasi akan bersikap agresif, karena tahu akan mendapat imbalan yang setimpal, yaitu kesempatan membalas dendam. Meski begitu, pembalasan dendam—khususnya yang dilancarkan pada pihak lain—disepakati sebagai sesuatu yang destruktif.
Michael McDullough, psikolog dari University of Miami, mengamini hal tersebut. Bagi sebagian orang, menurutnya, balas dendam memang kadang menjadi alasan untuk meneruskan hidup yang pernah hancur. Karena, jika ia bunuh diri atau pasrah, berarti telah kalah atau tertindas. Karena itu, balas dendam seperti rasa gatal yang harus digaruk, atau rasa lapar yang harus dipuaskan dengan makan.
Namun, Michael McDullough menyatakan, “Kita bisa mengapresiasi untuk apa aksi balas dendam tersebut, dan mencoba memahami bahwa ia bukan sebatas hal yang berkaitan dengan pikiran, namun juga sebagai cara untuk membantu orang mengurangi hasrat pembalasan dendamnya.”
Dalam riset lain yang dilakukan David Chester dan Nathan DeWall, ditemukan fakta bahwa para pembalas dendam sesungguhnya hanya mendapatkan kenikmatan temporer.
Riset yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology itu menyatakan, “(Balas dendam) Hampir sama dengan hal-hal lain, yang akan terasa nikmat dalam momentum tertentu. Setelahnya, Anda akan merasa lebih buruk dibanding saat Anda memulainya.”
David Chester dan Nathan DeWall juga melanjutkan penelitian mereka dengan membedah isi otak orang yang mampu menahan diri untuk tidak membalas dendam, meski telah diprovokasi sedemikian rupa. Mereka menemukan, bagian otak yang bertanggung jawab atas sikap tersebut adalah lateral pre-cortex, bagian yang juga menangani penalaran dan menghambat tindakan impulsif seperti aksi balas dendam.
Terkait hal itu, David Chester mengatakan, “Jadi, kita tidak ditakdirkan untuk menyerah pada dorongan untuk membalas dendam. Kita telah mengambangkan bagian lateral pre-cortex yang sangat canggih, yang bisa menghambat perilaku impulsif, dan membimbing kita pada perilaku yang lebih sesuai dengan norma sosial. Ada harapan untuk persoalan ini, meski kita menyadarinya atau tidak.”