Mahfud Kesal Dituding Demokrat Jadi Dalang Penghapusan Pasal Penghinaan Presiden
https://www.naviri.org/2021/06/mahfud-kesal-dituding-demokrat-jadi.html
Naviri Magazine - Kritik politisi Partai Demokrat, Benny K. Harman soal pasal penghinaan presiden dalam Rancangan KUHP, ditanggapi Menko Polhukam, Mahfud MD.
Dalam akun Twitternya, Mahfud mengungkapkan kekesalan terhadap tuduhan yang menuding dirinya sebagai dalang penghapusan pasal penghinaan presiden di dalam R-KUHP yang sedang dibahas saat ini.
Benny K. Harman sebelumnya menyebutkan, Mahfud saat menjadi Ketua MK menghapus pasal penghinaan presiden.
Sebagai buktinya, anggota Komisi III DPR itu menyinggung upaya Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 yang kala itu masih menjadi Presiden, ingin melaporkan orang yang menghinanya dengan ungkapan “kerbau”. Tapi tidak bisa lantaran pasal tersebut sudah dicabut.
Mahfud dengan tegas membantah tudingan itu dengan memaparkan kronologi penghapusan pasal penghinaan presiden.
“Agak ngawur. Penghapusan pasal penghinaan kepada presiden dilakukan jauh sebelum saya masuk ke MK. Saya jadi hakim MK April 2008,” kicau Mahfud.
Mahfud juga menjelaskan, dalam pembahasan Rancangan KUHP beberapa tahun terakhir, DPR sudah memasukkan kembali pasal penghinaan presiden.
“Sebelum saya jadi Menko Polhukam, RKUHP sudah disetujui oleh DPR, tapi September 2019 pengesahannya ditunda di DPR. Karena sekarang di DPR, ya coret saja pasal itu. Anda punya orang dan fraksi di DPR,” ujar Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menerangkan proses legislasi terkait KUHP dimulai sejak pemerntahan mantan Presiden SBY.
“Isi RKUHP itu digarap lagi pada era SBY, mulai sejak zaman Menkumham Hamid Awaluddin dan seterusnya. Waktu itu (2005) saya anggota DPR. Menkumham memberitahu ke DPR bahwa pemerintah akan ajukan R-KUHP baru. Ketua Tim adalah Prof. Muladi yang bekerja di bawah pemerintahan SBY. Sejarahnya baru lewat,” ucap Mahfud.
Pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Putusan MK itu bernomor 013-022/PUU-IV/2006.