Tak Perlu Sedih jika Tak Punya Sahabat, Kadang Itu Justru Baik untuk Kesehatan Mental
https://www.naviri.org/2021/04/tak-perlu-sedih-jika-tak-punya-sahabat.html?m=0
Naviri Magazine - Sebuah penelitian mengungkap kondisi 30 persen milenial yang disurvei tidak punya sahabat karib. Mungkinkah kita justru lebih bahagia tanpa sahabat?
Dalam hal pertemanan, manusia bersikap seperti pemimpi. Kita cenderung mengagumi orang yang tidak peduli sama kita. Sementara kita malas ngobrol dengan orang yang keseringan menghubungi, padahal akrab saja tidak. Di dunia yang didominasi media sosial, mana yang teman dan bukan semakin sulit ditentukan.
Sebuah studi YouGov mendapati temuan menarik. Rasa kesepian kaum milenial dan Gen Z di berada di tingkat tertinggi sepanjang masa; seperempat milenial mengaku sama sekali tidak punya teman. Menurut hasil studi tersebut, sekitar 30 persen milenial tidak memiliki sahabat karib.
Kesimpulan statistik tersebut agak menyedihkan. Namun, penelitian lain mendapati bahwa seiring bertambahnya usia, sepertiga dari kita pada akhirnya akan berpisah dari sahabat. Mungkinkah kalau kita melupakan gagasan teman akrab itu penting, efeknya pada kesehatan mental jauh lebih positif?
Lagi pula, bukankah mengandalkan satu orang hanya membatasi gerak kita, di saat media sosial memungkinkan kita berteman dengan siapapun—walaupun medsos bisa menyebabkan kecemasan dan depresi? Apa benar punya ratusan teman (lewat medsos) tidak ada dampak positifnya?
"Punya banyak teman bisa berdampak positif, tergantung bagaimana kamu mempertahankan pertemananmu," kata Gurpreet Singh selaku konselur di Relate, organisasi nirlaba yang menyediakan jasa konseling hubungan di Britania Raya.
Berusaha memisahkan hubungan berkualitas kita dari teman-teman Facebook dan “kenalan” dapat menghalangi dampak positif tersebut. "Sebagai makhluk sosial, kita seharusnya selalu saling terhubung," lanjutnya, "dan tentunya, memiliki banyak teman bisa menjadi hal yang baik. Kekurangannya adalah, kalau kamu punya terlalu banyak teman—bagaimana kamu bisa mempertahankan hubungan berkualitas?"
Mengukur kualitas pertemanan tidaklah mudah, terutama ketika jumlah like, follow dan pertemuan singkat dinilai lebih penting bagi anak muda. Lagi pula, sifat dasar hubungan sosial telah berubah drastis 10 tahun terakhir. Berkenalan di internet tak lagi dianggap cupu, cuma karena kita tidak pernah bertemu langsung dengan mereka.
Memiliki seorang sahabat dan banyak kelompok teman itu sangat mungkin diakukan, tetapi bukankah aneh apabila kalian menggolongkan teman sendiri ke kategori tertentu?
Memprioritaskan orang yang sudah lama dikenal terdengar seperti sesuatu yang biasa saja, padahal tindakan ini bisa dibilang cukup kuno. Kita jadi kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang baru, dan mengalami hal-hal dengan cara yang sama. ‘Nempel’ ke satu orang saja, seakan-akan kamu berhutang budi kepada mereka, dipastikan bisa membuatmu mundur secara jangka panjang.
Penting bagi kita menggantungkan pertemanan ke seseorang saat beranjak dewasa, tapi tak ada salahnya jika berpisah untuk menjalani kehidupan masing-masing suatu saat nanti. Mereka akan tetap menjadi bagian penting dalam hidupmu meski kamu dan sahabat tak lagi sejalan. Bisa jadi, teman di internet yang jarang ngobrol sama pentingnya dengan sahabat yang hampir tak pernah kita temui lagi.
Apakah bagus mementingkan satu teman saja? Psikoterapis dan konselor Samantha de Bono mengatakan, semuanya tergantung seperti apa sahabatnya.
"Sama seperti hubungan percintaan, kita memilih sendiri orang yang ingin dijadikan teman. Sehat atau tidaknya hubungan pertemanan tergantung pada kesejahteraan emosional kita," ujarnya.
Memiliki hubungan pertemanan yang tak sehat menandakan cara kita memandang diri sendiri. "Mereka-mereka yang suka menyenangkan orang lain biasanya tanpa sadar memilih teman atau pasangan narsis."
Itu artinya konsep persahabatan masih relevan di zaman modern. Gen-Z berpikiran maju, tapi mereka juga memiliki kebiasaan mengkontekstualisasi ulang masa lalu. Chloe Combi pernah menulis tentang ini dalam buku Generation Z: Their Voices, Their Lives. Dia percaya anak muda saat ini masih tertarik dengan gagasan punya sahabat yang bisa selalu diandalkan.
"Cara kita berkelompok dan fungsi teman telah berubah total sejak lima hingga 10 tahun lalu,” ujarnya, “Tetapi ada satu hal yang sampai saat ini masih disukai [Gen Z] dalam peran dan simbol ‘sahabat karib’."
Mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya mungkin hanya sekadar konsekuensi dari kecemasan modern. Tujuannya agar kita masih punya kenalan jika seandainya sahabat meninggalkan kita. Karena sepertinya tak ada yang pasti sekarang—bahkan dalam hal persahabatan sekalipun.