Masalah yang Akan Terjadi Jika Manusia Mulai Tinggal di Luar Angkasa (Bagian 2)
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya ( Masalah yang Akan Terjadi Jika Manusia Mulai Tinggal di Luar Angkasa - Bagi...
https://www.naviri.org/2021/03/masalah-yang-akan-terjadi-jika-manusia_29.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Masalah yang Akan Terjadi Jika Manusia Mulai Tinggal di Luar Angkasa - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Peran Negara
Negara tentu ikut berperan dalam privatisasi ruang angkasa. Sejak awal, aktivitas ruang angkasa yang dijalankan swasta memang mendapatkan suntikan dana kemitraan dari negara. Pada 2006, misalnya, pemerintah Amerika Serikat menawarkan kontrak seharga USD278.000.000 kepada SpaceX sebagai bagian dari program Commercial Orbital Transportation Services. Program pengangkutan kargo ke International Space Station (ISS).
Selanjutnya, pada 2010, pemerintah AS mengesahkan kebijakan National Space Policy yang tujuannya memberi rangsangan untuk sektor swasta di industri antariksa. Pada tahun yang sama, NASA menggelontorkan dana sebanyak $ 50.000.000 untuk lima perusahaan: Blue Origin, Boeing, Paragon, Sierre Nevada, dan United Launch. Dana terus mengalir untuk sektor swasta di tahun-tahun berikutnya.
Melalui kemitraan dan pendanaan seperti itu, swasta pelan-pelan memiliki akses dan kontrol yang semakin besar terhadap aktivitas ruang angkasa. Sebagaimana diberitakan The Washington Post, beberapa tahun terakhir misi pengangkutan kargo dan personil ke ISS sudah dialihkan ke pihak swasta. NASA sendiri menyadari ada perubahan peran akibat relasi yang dijalinnya dengan swasta.
“Ke depannya, pemerintah akan lebih banyak menjalankan peran yang sifatnya tidak langsung, seperti menjadi penyokong penelitian dan pengembangan, pembeli pertama atau penyewa utama untuk barang dan jasa ruang angkasa, pembuat aturan sebagaimana diperlukan untuk keselamatan publik atau alasan keamanan nasional, serta untuk memenuhi kewajiban internasional,” tertulis dalam laporan NASA.
'Guna-Guna' Kaum Kaya
Mapannya posisi swasta dalam aktivitas ruang angkasa ditegaskan oleh pemilik SpaceX. Pada tahun 2016, Elon Musk mengklaim bahwa perusahaannya akan segera melakukan kolonisasi Mars dalam satu dekade mendatang.
Klaim itu menimbulkan kegamangan, sebab Musk membayangkan Mars sebagai area kosong yang bisa dikuasai bisnisnya. Elon Musk menyebut koloni manusia yang tinggal di Planet Merah akan menjalankan pengaturan kehidupan dengan prinsip “self-governing” yang diatur oleh perusahaannya.
“Tidak ada pemerintahan di bumi yang memiliki kewenangan dan kedaulatan atas segala aktivitas yang dilakukan di Mars,” tulis Musk dalam Terms of Service proyek Starlink yang diinisiasi perusahaannya.
Gagasan serupa diungkapkan oleh miliarder lain, Rick Tumlinson, pemilik Deep Space Industries, melalui organisasi Earthlight Foundation. Organisasi itu mengeluarkan manifesto aktivitas ruang angkasa masa kini.
“Adalah hak yang tidak dapat dicabut dari semua manusia (dan makhluk hidup) untuk pergi ke tempat mana pun di alam semesta; melakukan apa pun yang mereka pilih, menggunakan sumber daya apa pun yang mungkin mereka temukan; memiliki tanah atau ruang di mana mereka tinggal,” tulis Earthlight Foundation di laman deklarasinya.
Dr. Bloddy Bowen, seorang pakar kebijakan ruang angkasa, khawatir jika kolonisasi yang dibayangkan oleh miliarder seperti Musk akan menciptakan kekuasaan otoriter baru di luar bumi.
“Digunakannya istilah 'koloni' dalam mendeskripsikan potensi masa depan manusia di ruang angkasa harusnya membunyikan alarm politik dan moral, mengingat situasi global 500 tahun terakhir. Akankah para miliarder menjalankan 'koloni' mereka seperti cara mereka menjalankan pabrik dan memperlakukan warganya seperti mereka memperlakukan karyawan dengan gaji paling rendah? Akankah para dewan eksekutif di Mars mengekang dengan kekuasaan otoriter CEO seperti yang mereka lakukan saat menjalankan perusahaannya di bumi?” tulis Bowen di Space Watch.
Kekhawatiran lain diungkapkan oleh Sinéad O’Sullivan, seorang peneliti di bidang ekonomi ruang angkasa. Dalam sebuah artikel yang dimuat di Space News, O’Sullivan mencontohkan kejadian pada awal 2018 saat perusahaan Swarm Technologies tidak mendapat izin penerbangan satelit oleh U.S. Federal Communications Commission (FCC). Tetapi, perusahaan tersebut membandel dan tetap menerbangkan satelit melalui roket India.
O’Sullivan khawatir kejadian seperti ini akan kerap terjadi dalam proyek antariksa swasta. Berbeda dengan negara, perusahaan bertanggung jawab kepada investor dan pemegang saham. Menurutnya, tekanan investor akan menuntut perusahaan untuk bekerja dengan cepat, dan itu bisa mengancam proyek antariksa seperti yang terjadi pada Swarm.
“Swarm mungkin mendapat tekanan dari investor untuk meluncurkan satelit secepat mungkin; membatalkan peluncuran kemungkinan akan memberi tekanan kepada perusahaan saat menghimpun sumber pendanaan baru di lain waktu, atau menghancurkan kemampuan untuk melakukannya sama sekali,” tulis O’Sullivan.
Baca lanjutannya: Masalah yang Akan Terjadi Jika Manusia Mulai Tinggal di Luar Angkasa (Bagian 3)