Kisah Para Penyair Indonesia dan Asal Usul Lahirnya Hari Puisi Sedunia
https://www.naviri.org/2021/03/kisah-para-penyair-indonesia-dan-asal.html
Naviri Magazine - Penyair, makhluk kreatif yang honornya seuprit, tak jarang dinilai masyarakat dengan pandangan yang mendua. Di satu sisi mereka dianggap istimewa lantaran intens bergulat dengan bahasa (juga intelektualitas serta sensibilitasnya atas perasaan dan persoalan hidup manusia), sedangkan di sisi lainnya justru dicemooh sebagai masyarakat kelas tiga karena, salah satunya, jarang punya uang namun keukeuh menempatkan ego di atas segalanya.
“Saya tidak dapat dipaksa mengarang untuk cari duit. Jadi, janganlah dipaksa saya untuk mencari duit dengan jalan membuat sajak-sajak itu,” komentar Chairil Anwar kepada istrinya, Hapsah.
Dalam Chairil (2016: 231), Hasan Aspahani menunjukkan bahwa pada zaman revolusi fisik, sajak Chairil dihargai Rp50 uang ORI. Dalam perhitungan Hapsah, kehidupan rumah tangganya dengan Chairil akan berlangsung normal sekiranya lelaki asal Medan itu mampu mempublikasikan karyanya tiga kali dalam sebulan.
Namun apa daya, Chairil memilih jalan sajak ketimbang manut pada pertimbangan logis pasangannya. Dalam epilog Aku Ini Binatang Jalang (2007: 100) Sapardi Djoko Damono menyebut Chairil Anwar sebagai lambang kesenimanan Indonesia, menyisihkan nama-nama yang lebih senior seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, maupun Amir Hamzah.
Dalam karya Chairil memang melekat sajak-sajak yang penuh vitalitas, kesegaran gaya ucap yang bahkan terkesan melampaui zaman, serta permenungan yang matang.
Namun pada saat bersamaan, dalam hidupnya yang singkat berkelindan juga seperangkat perkara yang identik dengan citra seniman—hal-hal yang hingga sekarang tak habis-habis melahirkan banyak anekdot: tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.
“Pada masa hidup penyair itu, sejumlah seniman kita—sastrawan, pelukis, dan komponis—tentunya juga menjalani hidup bohemian. Dalam bidang masing-masing, Ismail Marzuki, Affandi, dan Sudjojono tentu tidak bisa dianggap lebih rendah dari Chairil Anwar, namun dalam kehidupan bohemian penyair inilah yang dianggap mewakili mereka,” terang Sapardi.
Lepas dari soal tepat-kelirunya anggapan di atas, para penyair di seluruh negeri boleh bertempik sorak setelah UNESCO (selama Sidang Umum ke-30 di Paris Tahun 1999) menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia.
“UNESCO mengakui kemampuan unik puisi dalam menangkap jiwa kreatif pikiran manusia,” demikian salah satu bunyi keterangan pada situs resmi mereka.
Adapun tujuan dirayakannya Hari Puisi Sedunia—di samping menghormati para penyair—yakni mendukung keragaman linguistik melalui ekspresi puitis dan meningkatkan kesempatan bagi bahasa yang terancam punah untuk didengar.
Penyair Indonesia: Surplus dalam Jumlah dan Ribut-Ribut
Dengan atau tanpa perayaan Hari Puisi Sedunia, minat orang Indonesia terhadap puisi tampaknya senantiasa semarak. Sedikitnya, hal tersebut dapat diukur lewat dua hal. Pertama, jumlah naskah dan peserta yang ikut macam-macam sayembara; kedua, ribut-ribut yang mengemuka di sosial media.
Sebagai gambaran yang pertama, pada 2015, ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar Sayembara Manuskrip Buku Puisi untuk pertama kalinya, naskah yang masuk mencapai 572 berkas.
Sedangkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (HPI), yang dalam kurun satu dasawarsa terakhir rutin menggelar Sayembara HPI, mencatat pada 2020 lalu ada 823 buku puisi (ditulis oleh 527 penyair) masuk ke meja panitia. Diketahui, kegiatan yang sama pada tahun sebelumnya “hanya” berhasil menjaring 207 buku peserta.
Di luar sayembara, Yayasan HPI juga sempat merilis buku tebal Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Dalam edisi revisi, terbit dua tahun kemudian, penyair yang terdata di situ jumlahnya 1.627 orang, merentang sejak tahun 1629 hingga 2018.
Adapun mengenai ribut-ribut di sosial media, para penyair Indonesia seolah tidak pernah kehabisan bahan bakar.
Gerakan puisi esai Denny JA, rencana Ahmad Yulden Erwin menyusun buku 100 Penyair Kontemporer Indonesia, hingga produksi Film Puisi Binatang Jalang (sutradara meniatkan dialog-dialog dalam film ini menggunakan puisi Chairil Anwar, namun malah mengutip baris-baris curahan hati seorang blogger tak dikenal) adalah tiga contoh betapa riuhnya perbincangan di jagat maya perpuisian Indonesia.
Sedih Namun Sekaligus Penuh Gelak Tawa
Meski UNESCO menyebut puisi sebagai andalan tradisi lisan dan, selama berabad-abad sanggup mengkomunikasikan nilai-nilai terdalam dari beragam budaya, tak dipungkiri bahwa dalam banyak hal—terutama dalam soal kekurangan uang—tingkah penyair malah tak jarang menerbitkan tawa.
Saat masih bekerja sebagai kepala toko Bata di bilangan Petojo, Jakarta Pusat, Ramadhan K.H. sering menerima kunjungan kawan-kawannya. Salah seorang yang sering datang ke situ untuk melihat-lihat sepatu adalah Toto Sudarto Bachtiar, penyair yang sajak-sajaknya kerap dibacakan dalam perlombaan (antara lain sajak “Pahlawan Tak Dikenal” dan “Gadis Peminta-minta”).
Setelah ngobrol ngalor ngidul dan menilik-nilik barang, alih-alih duit, Toto malah menyerahkan sejumlah sajak kepada Ramadhan untuk menebus sepatu yang diinginkannya. Ya, di samping kepala toko, Ramadhan juga bekerja sebagai redaktur majalah Siasat, ruang di mana Toto mempublikasikan karya-karyanya.
Konon, kebiasaan menghadapi teman-teman macam itulah yang kemudian membuat Ramadhan K.H. berhenti bekerja dari Bata.
Serupa tapi tak sama, Sitor Situmorang kerap menghafal dan membacakan sajak-sajaknya di tempat-tempat tak terduga. Alasannya praktis belaka: bagi penyair, sajak adalah senjata, lazimnya seorang samurai menyandang katana ke mana-mana.
Suatu ketika, Sitor bertandang ke kediaman sejarawan J.J. Rizal. Setelah tuan rumah menyuguhi Sitor sayur asem, sebagai ungkapan terima kasih, Si Anak Hilang pun membacakan beberapa puisinya. Konon, dalam situasi darurat—saat hendak minum kopi namun uang tak ada, misalnya—upaya mempersenjatai diri ala Sitor ini terbilang cukup ampuh.