Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 9)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 8). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Namun, ancaman terhadap kebebasan pers, bahkan tindakan pemberangusan oleh pemerintah, dimungkinkan oleh Peraturan Menteri Penerangan No. 03/Per/Menpen/1969. Pasal 7 Permenpen tersebut menyatakan, surat izin terbit (SIT) dapat dicabut sebagai akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers berdasarkan alasan-alasan bertolak dari ajaran komunisme-Marxisme-Leninisme, cenderung kepada pornografi, sadisme, dan bertentangan dengan Pancasila. 

Dengan Permenpen tersebut, pemerintah juga dapat mengambil tindakan preventif. Pasal 16 berbunyi: Penerbitan pers yang tidak mempunyai SIT dari Menteri Penerangan dikenakan larangan terbit yang meliputi larangan menerbitkan, larangan mencetak dan larangan mengedarkan.

Karena menghapus lembaga SIT, pihak pers menyambut gembira lahirnya UU No.21/1982. Meski keharusan mempunyai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang termaktub dalam UU No.21/1982 masih mencerminkan sistem lisensi pers, yang bertentangan dengan kriteria pers bebas, penghapusan SIT ditafsirkan sama dengan meniadakan larangan terbit. 

Kenyataan menjadi lain, tatkala pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984. Pasal 33 Permenpen tersebut menyatakan SIUPP dapat dibatalkan. 

Jadi, pers tetap dibayangi ancaman represi pemerintah, efek pembatalan SIUPP sama dengan pencabutan SIT. Berbagai kritik terhadap peraturan tersebut tidak digubris (dalam pernyataannya tahun 1986, Prof. Oemar Senoadji menegaskan, SIUPP tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menjatuhkan pembredelan terhadap pers).

Korban pembredelan di awal Orde Baru adalah enam penerbitan Jakarta pada 1971, dengan dalih pornografi dan politik. Harian Sinar Harapan dilarang terbit beberapa hari pada 1972. Pada tahun itu juga, sembilan penerbitan dilarang terbit atas alasan pornografi dan penyiaran kode judi. 

Awal 1974, terjadi pembatalan izin terbit massal yang menimpa harian Nusantara pimpinan Tengku Dzulkifli Hafas, Abadi di bawah pemimpin redaksi Soemarso Soemarsono, Harian Kami, Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, The Jakarta Times pimpinan Zein Effendi, Pedoman pimpinan Rosihan Anwar, mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia dan majalah berita Ekspres (semuanya terbit di Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa Indonesia (Jakarta), serta Indonesia Pos (Ujung Pandang). 

Media tersebut diberangus karena pemberitaan mereka yang tidak menyenangkan penguasa mengenai peristiwa unjuk rasa anti-pemerintah oleh mahasiswa pada Januari tahun itu. Di samping itu, pemerintah menahan Mochtar Lubis dan wakil pemimpin redaksi Indonesia Raya, Enggak Bahau’ddin dan Soemarso Soemarsono. 

Wartawan lain yang pernah ditahan beberapa tahun kemudian adalah Syahrir Wahab dan Mansur Amin. Pengadilan T. Hafas oleh pemerintah atas tuduhan ‘menyebar kebencian’ adalah kasus pers yang menonjol di awal masa Orde Baru.

Catatan tentang kasus-kasus pembreidelan lainnya adalah sebagai berikut:

- Harian Berita Buana pimpinan Soekarno Hadi Wibowo, November 1974

- Harian Waktu dan mingguan Dunia Film, serta mingguan Gaya, Juli 1976

- Harian Sinar Indonesia Baru pimpinan G.M. Panggabean, Agustus 1976

- Majalah Topik, edisi No. 14-15 tahun 1976

- Harian Kompas, Merdeka, di bawah pimpinan redaksi Tribuana Said, Sinar Harapan dengan pemimpin redaksi Subagyo Pr, Pelita dengan pemimpin redaksi H.M. Said Budairy, Pos Sore dengan pemimpin redaksi H.S. Abiyasa, The Indonesia Times dengan pemimpin redaksi R.P. Hendro, dan Sinar Pagi di bawah pimpinan redaksi Charly T. Siahaan, Januari 1978.
  
Koran-koran tersebut diberangus Kopkamtib selama dua minggu. Juga sejumlah penerbitan kampus ditutup, seperti Salemba dan Tridharma (Jakarta), Kampus, Integritas, dan Berita ITB (Bandung), Muhibah (Yogyakarta), serta Aspirasi (Palembang).  

- Majalah berita Matahari, Juni 1979

- Penerbitan kampus Salemba kembali dibredel, Mei 1980

- Majalah Tempo pimpinan Gunawan Mohamad, April-Juni 1982

- Majalah Topik, pimpinan Supeno Soemardjo, Februari 1984

- Majalah Fokus, Mei 1984

- Harian Sinar Harapan, di bawah pemimpin redaksi Aristides Katopo, Oktober 1986.  Pada tahun ini pula pemerintah mengeluarkan peringatan keras kepada harian Suara Merdeka (Semarang), Waspada pimpinan Ani Idrus, Analisa di bawah pemimpin redaksi Soffyan, dan Sinar Indonesia Baru (Medan)

- Harian Prioritas, Juni 1987 (tahun 1992, sebagai pemimpin Prioritas, Surya Paloh menggugat tindakan pemberangusan tersebut ke Mahkamah Agung)

- Mingguan tabloid Monitor, Oktober 1990. Pemimpin redaksinya, Arswendo Atmowiloto, kemudian diadili dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara.

Konflik pers-pemerintah beberapa tahun setelah Presiden Soeharto berkisar tuduhan korupsi terhadap segelintir penguasa. Pemberitaan pers tentang aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa juga menjengkelkan penguasa. Tindakan-tindakan represi yang ditempuh pemerintah berlangsung sepanjang dasawarsa 1980-an dan dasawarsa berikutnya. 

Pemasungan politik yang terjadi tidak mencegah maraknya tuduhan korupsi, kroniisme dan nepotisme terhadap pemerintah, yang melibatkan sejumlah pengusaha-pengusaha kakap (konglomerat). Kegiatan bisnis beberapa putra-putri presiden yang semakin mencolok, menambah parah suasana konflik. 

Para pakar mensinyalir menajamnya konflik di dalam tubuh militer sejak awal 1990-an. Dalam satu seminar di Yogyakarta, Februari 1993, pakar politik Amir Santoso mencatat meluasnya kritik masyarakat terhadap aktivitas bisnis beberapa pejabat militer.

Meski pemerintah tidak mengulangi pemberangusan massal gaya tahun 1974 dan 1978, tekanan terhadap wartawan media cetak dengan cara pemanggilan atau melalui telepon (‘budaya telepon’) digunakan pihak pemerintah secara konsisten tiap kali  pemberitaan pers secara sepihak dinilai negatif terhadap pejabat, atau bernada oposisi terhadap pemerintah. 

Media televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Anteve, Televisi Pendidikan Indonesia, dan Indosiar, diwajibkan merelay siaran berita dari TVRI, lembaga penyiaran negara yang dikuasai pemerintah. Begitu pula, radio-radio swasta dikenakan wajib relay siaran berita RRI. 

Semua media siaran swasta dilarang membuat liputan berita sendiri. Pada saat-saat tertentu, pemerintah mengeluarkan peringatan keras secara umum kepada pers, dalam pertemuan tertutup dengan sejumlah pemimpin redaksi. 

Di samping menghargai peran pers sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan, Presiden Soeharto juga tidak lupa memperingatkan wartawan untuk menahan diri (atau sensor diri) dalam tiap upacara memperingati Hari Pers Nasional, tanggal 9 Februari sejak 1985. 

Tekanan-tekanan dari pemerintah tersebut juga disalurkan melalui sidang-sidang Dewan Pers yang dipimpin menteri penerangan, dan melalui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di lain pihak, pers dengan dimotori PWI menggelar upaya-upaya untuk mengembangkan konsep pers Pancasila, guna membedakan pers masa Orde Baru dengan pers Manipol sebelumnya. Namun, upaya-upaya tersebut menghadapi banyak kendala.

Tekanan, bahkan ancaman, terhadap pers di masa Presiden Soeharto mengakibatkan tumbuhnya praktik-praktik penyampaian informasi dan kritik oleh pers secara terselubung dan eufemistik. Pasalnya, pers mengutamakan terhindar dari hukuman fatal berupa pembredelan oleh pemerintah. 

Praktik-praktik ini terutama ditempuh oleh perusahaan-perusahaan pers yang sudah maju sebagai industri. Akibatnya, pers tidak berhasil mengimbangi kemajuannya sebagai badan usaha dengan kewajibannya sebagai pengemban hak kontrol, hak kritik dan hak koreksi terhadap penyelenggaraan negara, baik oleh jajaran eksekutif,  lembaga legislatif maupun yudikatif, juga terhadap berbagai kegiatan dalam masyarakat luas. 

Tidak ada lagi ekspos atau advokasi dini untuk mengatasi konflik atau krisis, sebelum berlarut-larut atau bertambah runyam.

Konflik bersumber perbedaan agama merupakan salah satu ancaman laten. Kasus Monitor tahun 1990 menjadi contoh penting ketika sebagian aksi memprotes kesalahan penyelenggara tabloid tersebut melebar ke perusahaan grup. 

Tahun berikutnya, terjadi peristiwa mengejutkan tentang penembakan para demonstran anti-pemerintah di Timtim yang banyak menelan korban tewas. 

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 10)

Related

Indonesia 7173243284823548507

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item