Toxic Positivity, Kalimat yang Terdengar Baik tapi Sebenarnya Beracun
https://www.naviri.org/2021/01/toxic-positivity-kalimat-yang-terdengar.html
Naviri Magazine - Akhir-akhir ini, santer beredar mengenai suatu perilaku yang disebut dengan toxic positivity. Banyak orang di media sosial sering menuliskan kata tersebut dan tak sedikit yang akhirnya berdiskusi mengenai toxic positivity.
Sebenarnya apa toxic positivity itu? Mengapa toxic positivity dianggap berbahaya? Bagaimana cara membedakan hal tersebut termasuk toxic positivity atau bukan?
Apa Itu toxic positivity?
Toxic positivity adalah kondisi di mana kalimat-kalimat bernada positif yang diungkapkan seseorang malah bisa menjadi racun pada mereka yang menerimanya. Contohnya, ketika kalian melihat seorang teman yang sedang mendapatkan masalah atau tertimpa musibah, kalian pun berinisiatif untuk memberikan dukungan.
Kalian mengeluarkan kalimat yang dirasa positif, namun sebenarnya hal tersebut bisa jadi bernada menyebalkan bagi teman kalian.
“Masih banyak orang yang lebih di bawah kamu.”
“Pasti ada sisi baik dari semua ini.”
“Udah, nggak usah nangis, cuman begitu aja, kok.”
“Kamu masih mending, aku kemarin lebih parah...”
Beberapa kalimat di atas merupakan contoh kalimat toxic positivity. Mungkin memang benar niat kalian adalah menyemangati, namun kalimat tersebut bisa jadi malah membuat teman kalian semakin down!
Mengapa toxic positivity negatif
Di poin pertama sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan toxic positivity. Lalu, mengapa toxic positivity bisa menjadi hal yang negatif?
Tak bisa dipungkiri, kita cenderung dibesarkan dalam lingkungan yang melarang kita untuk mengeluarkan emosi negatif seperti menangis, bersedih, marah, dan sebagainya. Kita juga akan dianggap lemah jika melakukan hal-hal seperti menangis.
Semua orang akan selalu menuntut kita untuk menekan perasaan, dan berpura-pura bahagia. Di sinilah mengapa kalimat positif itu tidak selamanya baik. Terkadang emosi seperti tangisan, amarah, dan kesedihan, harus diluapkan, asal dalam batas wajar dan tidak berlebihan.
Dengan mengeluarkan emosi-emosi tersebut, perasaan kita akan lebih lega dan tidak lagi membohongi diri sendiri. Memendam semua kesedihan, amarah, dan tangis secara terus menerus itu tidak baik untuk kesehatan, karena akan menjadi luka batin yang membekas serta sulit disembuhkan, yang akhirnya dapat berdampak pada fisik.
Selain itu, kalimat positif yang diucapkan tanpa empati juga menunjukkan kalau kalian tidak menghargai perasaan teman ataupun orang lain. Dalam mengucapkan kalimat positif, kalian juga harus bisa memahami perasaan teman kalian. Perasaan setiap orang itu berbeda satu sama lain dan tidak bisa disamakan.
Setiap individu di muka bumi memiliki masalahnya masing-masing, dan kapasitas tiap orang pun berbeda dalam menghadapi masalah tersebut. Jadi, jangan membanding-bandingkan!
Apa yang harus dilakukan?
Agar tidak terjebak di toxic positivity, lantas hal apa yang bisa kita lakukan? Cara pertama adalah dengarkan mereka bercerita. Jadilah pendengar yang baik dan jangan menyela mereka, apalagi malah bercerita masalah kalian.
Kedua, berusahalah untuk mempertajam empati kalian. Tempatkan diri kalian pada posisi teman kalian tersebut, dan jangan menghakimi. Karena menghakimi tentu tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada malah teman kalian akan semakin merasa terpuruk.
Ketiga, biarkan mereka mengekspresikan perasaan, baik menangis, muram atau marah, asal dalam batas wajar dan tidak sampai merugikan orang lain maupun diri sendiri. Tidak perlu mengucapkan kalimat positif jika hal tersebut hanya bertujuan untuk basa-basi.
Lebih baik kalian selalu mendampingi mereka menghadapi masalah yang ada. Karena dukungan, kehadiran, serta waktu yang kalian luangkan yang paling berarti, bukan sekadar kalimat-kalimat positif tanpa makna.