Terungkap, Tinggal di Antartika ternyata Bisa Membuat Otak Manusia Berubah
https://www.naviri.org/2021/01/terungkap-tinggal-di-antartika-ternyata.html
Naviri Magazine - Hidup di Antarktika selama beberapa bulan ternyata memiliki pengaruh terhadap tubuh manusia. Salah satu efek yang dirasakan adalah menyusutnya otak, menurut riset yang dirilis di jurnal The New England Journal of Medicine.
Baru-baru ini, para ilmuwan mempelajari otak sembilan orang, terdiri dari lima pria dan empat wanita, sebelum dan sesudah mereka hidup selama 14 bulan di stasiun penelitian Jerman Neumayer III di Antartika.
Setelah 14 bulan menjalani ekspedisi, sembilan orang itu lantas menjalani scan MRI di otaknya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, mereka kehilangan sejumlah volume dalam dentate gyrus, yakni bagian dari hippocampus otak yang terkait dengan pemikiran spasial dan memori.
Para peneliti juga mendeteksi hanya sedikit volume materi abu-abu di beberapa bagian korteks prefrontal, atau wilayah otak yang terlibat dalam kepribadian, pengambilan keputusan, dan perilaku sosial.
Perubahan otak juga berpengaruh pada kemampuan kognitif mereka. Hasil tes menunjukkan, memori spasial dan perhatian selektif mereka berkurang, atau dengan kata lain kemampuan untuk menangkap informasi mereka semakin melemah.
Kutub selatan diketahui merupakan lingkungan yang sering mengalami periode kegelapan selama 24 jam, dengan latar belakang salju yang tak pernah berubah. Bagi makhluk sosial, kehidupan di sana sangat keras. Tidak hanya hidup di bawah suhu minus 50 derajat Celcius, para pekerja juga mengalami demam kabin kronis.
Kehidupan sehari-hari di dalam stasiun penelitian sangat monoton, terisolasi dalam waktu yang cukup lama, dengan ruang privasi yang sangat terbatas. Para peneliti percaya, perubahan otak para pekerja tak lain akibat dari lingkungan yang monoton dan isolasi yang berkepanjangan.
Bagaimanapun, penelitian sebelumya telah menyarankan bahwa isolasi sosial dapat memiliki efek mendalam pada perilaku dan struktur otak manusia. Dan studi baru ini mengisyaratkan bahwa ada hubungan antara lingkungan sosial dengan otak manusia.
"Skenario ini menawarkan kita kesempatan untuk mempelajari cara-cara di mana paparan kondisi ekstrem mempengaruhi otak manusia," ujar Alexander Stahn, pemimpin studi dari Charité’s Institute of Physiology, sekaligus asisten profesor di Perelman School of Medicine at the University of Pennsylvania, sebagaimana dikutip IFL Science.
"Mengingat sedikitnya jumlah peserta, hasil penelitian kami harus dilihat dengan hati-hati. Bagaimanapun, mereka telah memberikan informasi penting bahwa kondisi lingkungan yang ekstrem dapat memiliki efek buruk pada otak, khususnya pada produksi sel-sel saraf baru di gyrus dentate hippocampal."