Tanpa Proses Peradilan, BEM UI Minta Pemerintah Cabut SKB Pembubaran FPI
https://www.naviri.org/2021/01/tanpa-proses-peradilan-bem-ui-minta.html
Naviri Magazine - Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) meminta pemerintah mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Hal itu dinyatakan BEM UI dalam siaran pers yang diterima redaksi, Senin (4/1/21).
Menurut BEM UI,pada akhir tahun 2020, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam. Keputusan tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada 30 Desember 2020 di Kantor Kemenko Polhukam.
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam Nomor 220-4780 Tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020 pada intinya memuat tujuh diktum yang menguraikan latar belakang pelarangan dan penghentian kegiatan Front Pembela Islam.
Dalam SKB tersebut diuraikan bahwa Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga secara de jure telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan.
Hal tersebut mempertimbangkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 01-00- 00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar Front Pembela Islam sebagai organisasi kemasyarakatan yang berlaku sampai tanggal 20 Juni 2019.
Hingga SKB diterbitkan pada 30 Desember 2020, Front Pembela Islam belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut sehingga, terhitung sejak 21 Juni 2019, Front Pembela Islam dianggap bubar.
Adapun dalam huruf e dan f Pertimbangan SKB juga dimuat bahwa pengurus dan/atau anggota FPI telah terlibat dalam tindak pidana dan melakukan pelanggaran ketentuan hukum. Dengan demikian, SKB yang ditandatangani oleh enam kementerian/lembaga menetapkan larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam sebagai organisasi kemasyarakatan.
Kendati demikian, prosedur dan landasan atas keputusan dilarangnya organisasi kemasyarakatan tersebut tidak merefleksikan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945.
Tidak selarasnya muatan SKB tersebut dapat ditinjau dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”) yang menghapuskan mekanisme peradilan dalam proses pembubaran organisasi kemasyarakatan.
Dalam prinsipnya, demokrasi merupakan salah satu dari 12 (dua belas) prinsip negara hukum sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H. BEM UI memaparkan bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pasalnya, hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, tetapi menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian, negara hukum yang dikembangkan adalah negara hukum yang demokratis
Hal ini menjadi ironi ketika SKB yang diterbitkan guna melarang kegiatan Front Pembela Islam juga memuat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) dalam konsideran Mengingat. Padahal, dalam Pasal 3 Ayat (2) UU HAM diuraikan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum yang sama di depan hukum.”
Poin tersebut menjadi wujud dari pertentangan ketika dibersamai dengan UU Ormas yang dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan melalui Menteri Hukum dan HAM, tanpa putusan pengadilan.
Dengan demikian, negara dapat secara sewenang-wenang membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa pengawasan atau proses pengadilan sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari prosedur pelarangan dan pembubaran Front Pembela Islam melalui SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) juga telah mengeluarkan aturan teknis implementasi kebijakan terkait SKB tersebut dalam bentuk Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI.
Aturan ini jauh lebih problematis karena dalam poin 2d normanya berisi tentang larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.
Padahal, mengakses konten internet adalah bagian dari hak atas informasi yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 14 UU HAM. Aturan Maklumat Kapolri a quo tentu saja akan dijadikan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan represif dan pembungkaman, khususnya dalam ranah elektronik.
Berdasarkan uraian di atas yang meninjau kembali tindakan Pemerintah Republik Indonesia dalam penerbitan Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam, BEM UI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. mendesak negara untuk mencabut SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI dan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI;
2. mengecam segala tindakan pembubaran organisasi kemasyarakatan oleh negara tanpa proses peradilan sebagaimana termuat dalam UU Ormas;
3. mengecam pemberangusan demokrasi dan upaya pencederaian hak asasi manusia sebagai bagian dari prinsip-prinsip negara hukum;
4. mendesak negara, dalam hal ini pemerintah, tidak melakukan cara-cara represif dan sewenang-wenang di masa mendatang; dan
5. mendorong masyarakat untuk turut serta dalam mengawal pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum, terutama perlindungan hak asasi manusia dan jaminan demokrasi oleh negara.