Mengapa Jumlah Ateis di Turki dan Timur Tengah Terus Meningkat? (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2021/01/mengapa-jumlah-ateis-di-turki-dan-timur_5.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Jumlah Ateis di Turki dan Timur Tengah Terus Meningkat? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Pertama, masifnya berita mengenai pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah ibadah yang terjadi di banyak negara Timur Tengah. Kondisi ini membuat masyarakat bingung dan merasa tersesat dengan keyakinan yang mereka peluk.
Kedua, kegagalan kepemimpinan partai-partai Islam pasca-Musim Semi Arab (Arab Spring). Ini terlihat jelas, misalnya, di Mesir. Usai massa-rakyat yang memadati Tahrir Square berhasil menumbangkan kediktatoran Hosni Mubarak, harapan untuk pemerintahan yang jauh lebih baik seketika membumbung tinggi.
Namun, ekspektasi masyarakat Mesir gagal terpenuhi. Partai Kebebasan dan Keadilan—yang juga jadi tunggangan politik Ikhwanul Muslimin—ternyata tak bisa diharapkan. Ketidakmampuan untuk mengatasi krisis ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi, pelayanan publik yang buruk, dan perebutan kekuasaan dengan militer kian membuat masyarakat muak.
Fakta memalukan tersebut lantas menggiring publik pada keputusan untuk tak lagi memberikan suara mereka kepada Partai Keadilan dan Kebebasan (45 persen)—yang disusul keinginan untuk hidup tanpa memeluk agama.
Robert Putnam dan David Campbell, ilmuwan politik dari Universitas Harvard dan Notre Dame sekaligus penulis American Grace: How Religion Divides and Unites Us (2010), menegaskan bahwa ateisme merebak ketika agama semakin sulit dipisahkan dari politik.
Fenomena semacam ini, terang Putnam dan Campbell, lebih dulu muncul di AS pada 1990-an tatkala banyak anak muda memutuskan untuk jadi ateis setelah menyaksikan politisasi agama dan skandal seks yang menyerang Gereja Katolik.
Ancaman terhadap Ateis
Di Turki dan Timur Tengah, ateisme dipandang sebagai produk dari teokrasi Kristen. Menjadi seorang ateis sama saja melanggar prinsip-prinsip agama dan karena itu harus dihukum agar jera serta "kembali ke jalan yang benar."
Tak tanggung-tanggung, tiap negara punya instrumen legal untuk menghukum para ateis. Di Turki, mereka yang mengaku ateis akan dijerat dengan tuduhan “menghasut kebencian” yang termaktub dalam Pasal 216 KUHP. Hukumannya bisa enam bulan atau satu tahun penjara.
Arab Saudi dan Kuwait malah berani menghukum lebih keras. Kedua negara ini dapat menjatuhkan hukuman mati kepada ateis. Pada 2015, misalnya, seorang pria asal Hafar al-Batin bernama Ahmad Al Shamri divonis mati dengan tuduhan murtad (keluar dari Islam) selepas mengunggah konten berisikan pernyataan sikapnya tentang Islam di media sosial.
Demikian pula di Irak. Kendati tak ada larangan terhadap ateisme, mengutip laporan NBC News, ateis tetap saja dipandang menghina Islam oleh organisasi-organisasi Syiah Iran yang berkuasa di pos-pos vital pemerintahan sejak Saddam Hussein tumbang pada 2003. Konsekuensinya jelas: orang-orang ateis kerap jadi target kekerasan.
Retorika kebencian yang digelorakan para politikus (dan ulama), seperti yang terjadi di Turki tatkala Erdogan menuduh ateis bersekongkol dengan teroris untuk “menggulingkan pemerintahannya” menjadi justifikasi kalangan muslim—sebagai mayoritas—untuk melancarkan aksi-aksi perisakan yang bahkan diteruskan sampai ancaman kematian.
“Kadang-kadang mereka mengirim foto beberapa anggota Al-Qaeda memenggal kepala orang dan memasukkannya ke ember,” jelas Onur Romano, salah satu pendiri Asosiasi Ateisme Turki, kepada VoA News. “Mereka seperti memberi tahu kami, 'Kepalamu akan berakhir di salah satu ember itu dan itulah nasibmu sepulang dari kantor'.”
Banyaknya ancaman dan vonis hukuman yang ada di depan mata membuat ateis, baik di Turki maupun Timur Tengah, harus menyembunyikan keyakinannya.
Hubungan antara agama dan politik memang senantiasa berjalan dengan erat. Keduanya saling memengaruhi. Agama dipakai politikus sebagai kendaraan menuju singgasana, sedangkan politik digunakan agama untuk menegaskan hegemoni.
Walhasil, orang-orang dari kelompok minoritas seperti ateis inilah yang kena getahnya. Mereka jadi korban atas kebijakan politik-agama yang dibuat berdasarkan kepentingan pihak-pihak tertentu.
“Kami tidak menghina agama, juga tidak menghina nilai-nilai [yang dipegang] banyak orang. Yang coba kami lakukan adalah memberi tahu kepada masyarakat apa itu ateisme. Karena, sejauh ini, orang-orang hanya berpikir bahwa ateis adalah mereka yang suka berpesta pora tiap malam, memperkosa selayaknya binatang, dan tidak punya etika,” tegas Romano. “Bagi mereka, pada kenyataannya, agama disalahartikan sebagai etika.”