Mengapa Jumlah Ateis di Turki dan Timur Tengah Terus Meningkat? (Bagian 1)


Naviri Magazine - “Ada pemaksaan untuk urusan beragama di Turki,” kata Ahmet Balyemez. “Orang-orang bertanya pada diri mereka: ‘Apakah ini Islam yang sebenarnya?’”

Ahmet, 36 tahun, seorang ilmuwan komputer, tumbuh dalam keluarga muslim yang sangat religius. Deutsche Welle melaporkan Ahmet rutin salat dan puasa. Akan tetapi, muncul pertanyaan dalam dirinya yang menuntunnya keluar dari Islam dan menjadi ateis selama lebih dari 10 tahun.

Hal serupa juga dialami Merve, seorang guru SD. BBC memberitakan bahwa sebelumnya, Merve mengaku sebagai muslim radikal. Saking radikalnya, Merve tak mau berjabat tangan dengan pria.

“Tapi, sekarang aku tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, dan aku benar-benar tidak peduli,” tegasnya.

Jadi Alat Politik

Lima tahun silam, Diyanet, Direktorat Urusan Keagamaan Turki, menyatakan bahwa lebih dari 90 persen populasi di negara tersebut adalah muslim. Akan tetapi, hasil survei dari lembaga riset sosial-politik Konda, yang dirilis beberapa bulan lalu, menyebut sebaliknya: masyarakat Turki semakin banyak yang jadi ateis. Jumlahnya meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Secara umum, Turki merupakan negara yang menerapkan konsep sekularisme dalam kehidupan bernegara. Artinya, ada garis pemisah yang jelas antara urusan politik dan agama. 

Konsep sekularisme Turki sendiri, mengutip makalah Tayfun Kasapoglu Vytautas berjudul “Religion and Politics in Contemporary Turkey: Attitudes of Atheists” (2017), dicetuskan pertama kali oleh Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki.

Lewat pemisahan tersebut, Atatürk hendak menciptakan sistem pemerintahan modern yang lepas dari intervensi agama. Ia percaya bahwa perkara agama adalah urusan masing-masing individu—negara tak berhak mengatur.

Dalam kurun waktu lima tahun (1924-1929), Atatürk memulai misinya mengenalkan sekularisme. Langkah-langkah yang ia ambil antara lain menghapus sistem kekhalifahan, meniadakan Kementerian Hukum Islam, menetapkan Minggu sebagai hari libur alih-alih Jumat, menempatkan sekolah keagamaan di bawah wewenang Kementerian Pendidikan, menghilangkan pernyataan “Islam sebagai agama negara” dari konstitusi, hingga memberlakukan aksara latin untuk menggantikan Arab.

Gebrakan Atatürk menghasilkan perubahan besar. Turki tak lagi berasaskan Islam. Namun, sejak itu pula sekularisme (selalu) menjadi konsep yang diperebutkan sekaligus membuka jalan bagi banyak konflik yang mewarnai lanskap politik Turki.

Ada pergeseran yang cukup signifikan pada awal 2000-an, ketika Recep Tayyip Erdogan dan gerbong politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berhaluan konservatif, berkuasa. Sejak menjabat sebagai perdana menteri pada 2002—hingga sekarang duduk di kursi presiden—Erdogan melakukan islamisasi besar-besaran.

Dalam “Beyond the Straight Path: Obstacles and Progress for Atheism in Turkey” (2015), Maria Inês Teixeira mencatat langkah Erdogan dimulai dengan menjalankan pemerintahan yang berasaskan prinsip-prinsip Islam. Implementasinya dapat dilihat dari kebijakan larangan menjual alkohol hingga seks di luar nikah. Erdogan mengklaim ingin membentuk generasi muslim Turki yang saleh.

Perlahan-lahan langkah Erdogan mengubah cara pandang masyarakat Turki. Jajak pendapat yang dikutip dari studi Kasapoglu menyebutkan sekitar 79 persen orang Turki percaya agama selalu benar dan dapat dipakai untuk menyelesaikan segala permasalahan.

Pada saat bersamaan, pemaksaan ajaran Islam justru menciptakan resistensi dari masyarakat yang lain. Bagi segmen masyarakat ini, Erdogan sekadar menggunakan Islam sebagai alat politik untuk mencari dukungan agar tetap bisa berkuasa. Mereka kritis terhadap pemerintah dan menolak (politisasi) agama dengan cara menjadi ateis. Mereka tak ingin Islam ditafsirkan secara tunggal oleh penguasa.

Imbas Arab Spring

Tak cuma di Turki, pemandangan sama rupanya juga muncul di kawasan Timur Tengah. Di Mesir, berdasarkan jajak pendapat Universitas Al-Azhar Kairo (2014), sebanyak 10,7 juta orang—dari jumlah penduduk 87 juta—mengaku ateis. 

Di Arab Saudi, mengutip hasil riset WIN-Gallup International, sekitar 19 persen dari masyarakat mengaku tidak terlibat dalam praktik keagamaan dan lima persen lainnya ateis.

Popularitas ateisme merembet pula sampai dunia maya. Di masing-masing negara terdapat beragam laman Facebook dengan ribuan like dan pengikut. Di Irak, misalnya, lahir laman Facebook bertajuk “Agnostik dan Ateis Irak” yang punya 17 ribu pengikut dan 13 ribu tanda likes.

Ada dua faktor yang menyebabkan munculnya gelombang ateis di jazirah Arab, demikian terang Tamer Fouad dalam artikel “The Arab Spring and the Coming Crisis of Faith” (2012). 

Baca lanjutannya: Mengapa Jumlah Ateis di Turki dan Timur Tengah Terus Meningkat? (Bagian 2)

Related

News 8030410146309264865

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item