Kesaksian Mengerikan Warga Mamuju Diguncang Gempa Dahsyat Sulbar


Naviri Magazine - Suara atap berderak disusul guncangan hebat mengejutkan Ahmad Dodi yang tengah menggendong anaknya sembari melayani pembeli di toko sembako milik keluarganya di Mamuju, Sulawesi Barat.

Televisi dan barang-barang yang ada di tokonya berhamburan di lantai. Para pembeli yang sempat berbincang dengan Dodi pun berlarian keluar.

"Cabut semua karena jatuh itu barang-barang," kata Dodi saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Dodi, istri, ibu, dan ketiga adiknya pun sontak keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Beruntung rumahnya selamat dari guncangan gempa meski ada sedikit retak di sejumlah sisi.

Mamuju dan Majene, dua kabupaten di tepi laut Sulawesi Barat itu diguncang gempa dengan kekuatan magnitudo 5,9 pada Kamis (14/1) sekitar pukul 14.45 WITA.

Dodi melihat berbagai bangunan di sekitarnya seperti berlompatan karena diguncang gempa begitu kuat. Ia sendiri memilih tetap bertahan demi menjaga toko dan harta benda di rumah.

Hingga guncangan hebat kembali terjadi pada Jumat (15/1) pukul 02.28 WITA dini hari. Dodi baru saja akan tidur ketika tiba-tiba tanah di sekitarnya bergerak. 

"Saya baru mau tidur, tiba-tiba sudah guncang," kata Dodi.

Dodi sempat tertahan bersama anaknya yang tidur di dalam rumah. Kondisi gelap karena listrik mati sejak maghrib menyulitkan dirinya untuk berlari keluar.

Ia pun memutuskan bertahan dalam rumah dan melindungi anaknya dengan bantal. Jika atap roboh, paling tidak tubuhnya yang lebih dulu tertimpa reruntuhan.

"Pokoknya saya sudah prinsip itu kalau runtuh pasti saya duluan yang kena. Sudah pasrah itu malam. Ngeri itu malam, ngeri," kata Dodi mengisahkan  petaka kedua itu terjadi.

Dodi bertahan dalam guncangan kuat yang menurutnya terjadi selama satu menit dan baru berlari keluar ketika guncangan terasa lebih kecil.

Ia dan keluarganya cepat-cepat menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Orang-orang berhamburan keluar membuat jalanan macet. Mereka panik, berteriak, dan menangis dalam guyuran hujan dan gelap. 

"Wah, kacau itu malam, sudah amburadul semua orang lari, orang teriak-teriak, mi," kenang Dodi.

Dodi melihat beberapa rumah tetangganya roboh. Termasuk hunian dua lantai yang berjarak tiga rumah dari tempat tinggal Dodi. Dari reruntuhan itu, ia mendengar ada suara orang minta tolong. "Tapi terakhir ini saya dengar beritanya meninggal semua," katanya.

Dodi dan keluarganya akhirnya memutuskan untuk mengungsi di dataran tinggi di kawasan Kaluku yang berjarak lima kilometer dari rumah. Keesokan paginya pada Sabtu (16/1), Dodi dan warga lain mulai menerima bantuan berupa beras dan mie instan. 

Ia mengaku kesulitan air bersih dan gas untuk memasak di tempat pengungsian. Kebutuhan seperti selimut, obat-obatan, dan pembalut juga belum terpenuhi.

Selain barang-barang tersebut, menurut Dodi, warga juga membutuhkan mental healing karena masih diliputi ketakutan usai gempa.

Dodi sendiri mengaku trauma. Hal itu ia sadari ketika mengambil sarung dan pakaian anaknya di rumah. Saat itu, Dodi spontan berlari hanya karena melihat tembok yang retak.

"Perlu itu penyembuhan mental, mental kami terganggu," kata Dodi.

Dodi bertahan dalam guncangan kuat yang menurutnya terjadi selama satu menit dan baru berlari keluar ketika guncangan terasa lebih kecil. Ia dan keluarganya cepat-cepat menyelamatkan diri ke arah pegunungan. 

Orang-orang berhamburan keluar membuat jalanan macet. Mereka panik, berteriak, dan menangis dalam guyuran hujan dan gelap. 

"Wah, kacau itu malam, sudah amburadul semua orang lari, orang teriak-teriak, mi," kenang Dodi.

Dodi melihat beberapa rumah tetangganya roboh. Termasuk hunian dua lantai yang berjarak tiga rumah dari tempat tinggal Dodi. Dari reruntuhan itu, ia mendengar ada suara orang minta tolong. 

"Tapi terakhir ini saya dengar beritanya meninggal semua," katanya.

Dodi dan keluarganya akhirnya memutuskan untuk mengungsi di dataran tinggi di kawasan Kaluku yang berjarak lima kilometer dari rumah.

Keesokan paginya pada Sabtu (16/1), Dodi dan warga lain mulai menerima bantuan berupa beras dan mie instan. Ia mengaku kesulitan air bersih dan gas untuk memasak di tempat pengungsian. Kebutuhan seperti selimut, obat-obatan, dan pembalut juga belum terpenuhi.

Selain barang-barang tersebut, menurut Dodi, warga juga membutuhkan mental healing karena masih diliputi ketakutan usai gempa.

Dodi sendiri mengaku trauma. Hal itu ia sadari ketika mengambil sarung dan pakaian anaknya di rumah. Saat itu, Dodi spontan berlari hanya karena melihat tembok yang retak.

"Perlu itu penyembuhan mental, mental kami terganggu," kata Dodi. 

Related

News 4612982001935230002

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item