Fakta di Balik Anak-anak Muda Dunia yang Kini Menunda Menikah
https://www.naviri.org/2021/01/fakta-di-balik-anak-anak-muda-dunia.html
Naviri Magazine - Jika beberapa dekade yang lalu perempuan usia kepala tiga yang belum dipersunting jadi topik hangat pergosipan tetangga, kini orang-orang lebih santai menanggapinya. Orang-orang juga cenderung lebih bisa memaklumi alasan-alasan di balik kejombloan tersebut.
Marcia Inhorn adalah profesor antropologi hubungan internasional di Yale University. Ia memandu konferensi yang membahas fenomena penundaan keputusan-keputusan besar dalam generasi muda kekinian, termasuk menunda pernikahan.
“Salah satu tren global yang benar-benar terlihat di berbagai hasil penelitian (yang dipresentasikan dalam konferensi) adalah penundaan pernikahan, terutama di antara warga berpendidikan, terutama lagi perempuan,” kata Inhorn.
Tren tersebut muncul di Yordania, Cina, Amerika Serikat, Rwanda, Jepang, hingga Guatemala. Untuk konteks Afrika, buktinya bisa mengacu pada riset Margaret Frye, profesor sosiologi University of Michigan.
Phys.org melaporkan, Frye dibantu koleganya mengolah data dari 721 perempuan dari 30 negara di sepanjang Sub-Sahara Afrika. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan formal seadanya pun bisa membuat perempuan di Afrika menunda pernikahannya.
Frye menjelaskan sekaligus menegaskan temuan Inhorn, bahwa di mana-mana perempuan yang berpendidikan akan menunda pernikahannya. Perbedaannya cuma soal akses.
Saat pintu menuju bangku sekolah terbatas untuk minoritas, perempuan yang kurang berpendidikan cenderung menikah jauh lebih awal ketimbang yang berpendidikan. Saat akses dibuka secara inklusif, perempuan berpendidikan rendah maupun tinggi berperilaku serupa untuk penundaan pernikahan—meski lama penundaannya tetap berbeda.
Penundaan pernikahan juga hanya satu bentuk dari penundaan-penundaan besar lain. Inhorn serta ilmuwan sosial lain mengistilahkannya sebagai waithood.
Waithood pertama kali dicetuskan oleh Diane Singerman, profesor American University, Washington DC, dalam risetnya tentang generasi muda Timur Tengah. Ia mempublikasikannya pada akhir 2007, dengan judul The Economic Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East.
Ada beragam faktor yang melatarbelakangi penundaan menikah. Artinya, tren tersebut didorong oleh sesuatu yang lebih kompleks ketimbang sekadar “pilihan”. Melalui berbagai penelitian soal waithood, muncul faktor-faktor di luar diri seseorang yang sifatnya memaksa.
Salah satu kasus yang diselidiki Singerman adalah Mesir. Anak muda Mesir menunda pernikahan, bukan karena tidak ingin, tapi tidak punya cukup uang untuk hidup mandiri tanpa tinggal di rumah orangtua, membiayai upacara pernikahan, sampai menafkahi keluarga sendiri.
Singerman telah mengamatinya sejak 1990-an. Problemnya kian pelik karena tingkat pengangguran di Mesir tergolong tinggi, terutama saat terjadi ketidakstabilan politik dalam negeri. Sebagaimana Singerman katakan pada BBC Magazine tahun 2015 silam, pernikahan bukan lagi sulit, tapi hampir mustahil.
“Problem finansial besar ini tiba-tiba muncul, dan menjadi akar permasalahan lain,” katanya.
Misal, lanjutnya, masalah psikologis karena seks di luar pernikahan itu tabu. Muda-mudi Mesir otomatis dilanda kesepian akut. Belum lagi stigma seseorang belum dianggap dewasa sebelum menikah. Namun karena mereka juga bukan lagi anak-anak, maka mereka terjebak dalam penundaan tanpa kepastian.
Penantian panjang itulah yang menjadi asal muasal waithood. Istilah untuk para praktisi waithood bermacam-macam. Di Italia disebut bambossioni (bocah besar). Yo-yo generation, di Inggris. Youthmen, di Afrika Selatan. Furita, di Jepang. Dan slackers, di Amerika Serikat.
Para orangtua secara umum memakai standar usia dalam memandang kedewasaan (18 atau 21 tahun ke atas). Tapi Singerman juga menitikberatkan persepsi kultur lokal. Ada yang mendasarkannya pada pernikahan, seperti di Timur Tengah. Di Eropa selatan, dewasa sama dengan punya anak. Sedangkan di Eropa utara, tanda kedewasaan adalah saat si anak tidak lagi tinggal di rumah orangtua.
William Kremer turut mengutip hasil penelitian antropolog Alcinda Honwana di Mozambique, Afrika Selatan, Senegal, dan Tunisia. Sebagian muda-mudi di negara-negara itu terjebak waithood. Kondisi tersebut membuat mereka bertahan hidup dengan berbagai cara.
“Orang-orang bersedia mencari kerja di sektor informal, bermigrasi, atau mengafiliasikan diri mereka kepada kelompok-kelompok radikal-revolusioner. Mereka menanggapi waithood sebagai situasi yang dipaksa hadir untuk mereka tanggung, karena kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah yang korup.”
Sekali lagi, tiap wilayah punya faktor khas pendorong waithood. Di kawasan yang stabil seperti Eropa atau Amerika Utara, generasi milenial mencoba mendobrak kemapanan hidup ala orangtuanya.
Pernikahan dianggap sudah terlalu umum, sehingga ditunda pun tak masalah—bahkan tidak melaksanakannya pun tak mengapa. Mereka lebih tertarik mengunjungi tempat-tempat baru, melakukan aktivitas atau hobi baru, yang bagi mereka sama berharganya dengan menikah atau mengelola rumah tangga.