Berdasarkan Sejarah, Ketum Golkar yang Mencalonkan Diri Jadi Presiden Selalu Menuai Hasil Negatif, Kenapa?


Naviri Magazine - Sejarah pemilihan presiden (Pilpres) tidak selalu berpihak kepada Ketua Umum (Ketum) Partai Golongan Karya (Golkar).

Peneliti Institut Riset Indonesia (INSIS), Dian Permata mengatakan, posisi ketum partai politik dianggap telah memiliki silver ticket untuk masuk garis edar calon presiden dalam kontestasi elektoral Pilpres

"Silver ticket dapat terkonversi menjadi golden ticket apabila partai yang dipimpinnya memperoleh perolehan suara signifikan pada pemilu," ujar Dian.

Golkar sendiri kata Dian, pada Pemilu 2019 menempati posisi ketiga di bawah PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. 

Sehingga, jika menggunakan basis data 2019 itu, kata Dian, peluang Golkar mencalonkan capres dari internal sangat terbuka lebar.

Tetapi, sambungnya, Golkar harus melihat catatan sejarah di mana jika ketua umum mereka menjadi capres, maka kemenangan tidak dapat diraih.

"Itu dapat dilihat dari 2009 saat mencalonkan Jusuf Kalla. Hanya saja, sejarah di pilpres tidak selalu berpihak kepada Golkar. Setiap ketua umum yang dicalonkan Golkar menuai hasil negatif. Sebagai contoh 2009 saat Jusuf Kalla berpasangan dengan Wiranto," jelasnya.

Bahkan masih kata Dian, pada Pilpres 2004 dan 2009, kandidat internal yang diusung Golkar juga tidak membawa angin kemenangan.

"Yang menarik, di 2004, saat SBY berpasangan dengan JK, di putaran pertama Pilpres, Golkar tidak mendukung pasangan tersebut. Barulah di putaran kedua, Golkar berbalik arah mendukung JK dan tidak menang," terang Dian.

Sehingga, kata Dian, pilpres 2004 dan 2009 menjadi pelajaran berharga bahwa Golkar memiliki masalah soal tingkat kesolidan jika berbicara dalam konteks kontestasi di pilpres.

"Ketua Umum Golkar saat ini, Airlangga Hartanto harus mengerti betul suasana kebatinan tingkat kesolidan internal. Faksionalisasi yang kuat masih dituduh menjadi biang kerok tidak solidnya Golkar," tutur Dian.

"Sebagaimana kita ketahui, ada sejumlah faksionalisasi di Golkar. Sebut saja seperti Airlangga, Bambang Soesatyo, atau faksi nama-nama lama seperti Akbar Tandjung, Agung Laksono, Jusuf Kalla hingga Luhut," sambungnya.

Artinya, jika silver ticket yang digenggam Airlangga di top up menjadi golden ticket. 

Maka politik akomodasi menjadi salah satu pilihan yang harus diambil untuk memuluskan rencana dan menyolidkan internal Golkar.

"Selain itu, internalisasi Airlangga juga harus dihitung. Apakah dia mampu mengkapitalisasi posisinya dia saat sebagai menteri di kabinet Jokowi? Data saat ini, top of mind pemilih bahwa Airlangga belum masuk di lima besar di benak atau ingatan pemilih soal nama-nama calon presiden," pungkasnya. 

Related

News 2289150962169164437

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item