Mengenal Echoisme, Kondisi Langka Akibat Jadi Korban Sosok Narsis (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2020/12/mengenal-echoisme-kondisi-langka-akibat_30.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenal Echoisme, Kondisi Langka Akibat Jadi Korban Sosok Narsis - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
“Saya dulu sering ke toilet untuk melihat diri sendiri di cermin,” kata Sarah, yang saat ini berusia 39 dan tinggal di Surrey bersama putranya. “Kedengarannya memang aneh, tapi saya pengin memastikan kalau saya masih ada. Saya tidak mengenali diri sendiri. Saya benci menjadi pusat perhatian. Saya ingin menghilang.”
Individu yang dibesarkan oleh orang tua yang narsis secara tak sadar akan mencari pasangan narsis saat tumbuh dewasa. “Ketika kamu benar-benar mengekang kepribadianmu sepenuhnya, kamu hanya akan merasa hidup jika mendapatkan perlakuan yang sama,” kata Sarah.
“Dulu, waktu usia saya masih 20 tahunan, saya pernah berada di situasi yang menakutkan, dipukuli, menjalani hubungan yang kasar serta direndahkan. Parahnya, saya tak bisa meninggalkan kondisi ini begitu saja karena satu-satunya cara saya untuk hidup adalah menjadi ‘pelengkap’ orang yang narsis. Hubungan perkawanan dan percintaan yang narsistik inilah yang menghabiskan tenaga dan waktu waktu itu.”
Echoisme melulu tentang memuaskan orang lain, kata Maria Michael (55 tahun). Dia mengatakan bahwa mendiang ayahnya semasa hidup adalah lelaki narsis. “Ayah tak punya banyak empati, selalu mau menang sendiri dan selalu mengomel, menyalahkan saya. Gampangnya, dia selalu bisa bikin saya merasa semua yang saya lakukan salah. Jadi, saya berusaha lebih keras lagi untuk memuaskan beliau.”
“Saya dan saudara saya sangat awas dengan emosi orang lain. Kami sangat paham arti ekspresi raut muka orang karena ingin memastikan mereka bahagia,”
Konselor Arlo McCloskey mendirikan The Echo Society UK sebagai sebuah support group support group untuk para korban individu narsis.
McCloskey menjelaskan bahwa menyenangkan orang lain “adalah perilaku yang kita pelajari dari ketakutan kita semasa kecil. Dari pengalaman ini, kita belajar untuk menyenangkan orang yang membuat kita takut dan ini akan berlanjut dalam pertemanan serta hubungan romantis saat kita dewasa.”
Dalam bukunya yang terbit pada 2018, Echoism, psikoterapis Donna Christina Savery mempertanyakan apakah perempuan lebih rentan terhadap perilaku echoistik saat dibesarkan oleh orang tua narsis. Savery menulis perempuan cenderung mencari pasangan yang narsis dan berperan sebagai pihak yang echoistik dalam hubungan mereka.
Perempuan echoist lantas akan disingkirkan di lingkungan kerja dan dalam lingkaran pertemanan. Alhasil, mereka tak bisa mewujudkan semua potensi dalam diri mereka dan kerap merasa tak nyaman dalam pergaulan, terang Savery. Kendati begitu, Savery menyimpulkan dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk bisa sampai ke kesimpulan yang lebih holistik.
Data yang menunjukkan kecenderungan perempuan mengidap echoisme masih belum lengkap. McCloskey mengemukakan bahwa jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih sering mencari pertolongan untuk menghadapi kondisi yang dia hadapi dari masyarakat tempat mereka hidup.
Namun, ini terjadi, menurutnya, karena laki-laki “cenderung malas mencari pengobatan untuk mengatasi masalah mentalnya.” (Savery tak punya data prevalensi echoisme di kalangan kaum LGBTQ atau non-biner).
Malkin merancang sebuah skala untuk mengukur tendensi echoisme pada 2.000 peserta penelitian. Hasilnya mengejutkan. “Saya menduga lebih banyak perempuan daripada lelaki yang mendapatkan skor yang tinggi. Ternyata tidak. Yang kami temukan adalah tak ada perbedaan berarti antara perempuan dan lelaki dalam kecenderungan echoisme.”
Semua orang yang bersedia saya ajak bicara sepakat bahwa kesadaran akan echosime dalam komunitas kesehatan mental yang lebih luas masih jauh dari cukup. “Tak ada jasa-jasa penunjang untuk kami di luar sana,” kata McCloskey.
“Kaum echoist berusaha mencari pertolongan konselor, polisi bahkan pengadilan... tapi, biasanya mereka malah disalahpahami. Ini sangat merugikan sebab mereka mengalami invalidasi emosional dalam sebuah hubungan yang kurang sehat. Sudah begitu, mereka harus mengalami hal serupa dalam masyarakat.”
The Echo Society mengelola support group dan menyelenggarakan berbagai lokakarya. Salah satu fokus mereka adalah menciptakan batasan fisik, emosional sekaligus psikologis.
“(Batasan yang dimaksud) adalah harga diri, ketegasan dan kenyamanan berkata ‘tidak,’” kata McCloskey. “Kami juga menyentuh hal-hal sederhana seperti perawatan diri. Para korban lupa merawat dirinya karena mereka terus-terusan mengurus seseorang yang narsis.”
Mendapati pengalamannya disepelekan atau dianggap berlebihan adalah sesuatu yang berbahaya bagi para echoist. Sarah sepakat akan hal ini. “Orang-orang tak paham masalah ini. Kamu tak dipercaya berkali-kali. Saya bahkan hampir gila.”
Malkin mengatakan kunci utama menangani echoist adalah membantu menemukan suara mereka sendiri. “Mereka sudah terbiasa mengubur kebutuhan, perasaan, pilihan atau kekecewaaan yang seharusnya normal agar hubungan mereka tidak kandas.”
Malkin menyarankan para konselor untuk membangun kesadaran bahwa echoist juga punya hak atas dirinya. “Ya, semacam kesadaran bahwa mereka perlu merawat diri dan dipahami.”
Sarah mencapai ujung kesabarannya dua tahun lalu saat ibunya yang sudah tak berkomunikasi dengannya tiba-tiba menuding dirinya sebagai penyebab ayahnya bunuh diri. “Pedih banget sih rasanya. Ada beban berat yang menggelayuti hati saya.”
Sarah akhirnya mengontak Women’s Aid dan mulai menjalani terapi “Bangkit dari hubungan tak sehat seperti ini mungkin banget kok. Kamu cuma perlu orang baik yang mau mendengar dan mempercayai ceritamu.”