Viral Pamflet ‘Turunkan Nabi Isa’ Saat Demo Omnibus Law, Netizen: Kalau Minta yang Benar Dong!
https://www.naviri.org/2020/10/viral-pamflet-turunkan-nabi-isa-saat.html
Naviri Magazine - Selama rangkaian demonstrasi tolak UU Cipta Kerja berlangsung di sejumlah daerah, ternyata ada pemandangan yang unik. Ada peserta demo yang membawa tulisan menuntut 'Turunkan Nabi Isa'.
Pegiat media sosial Birgaldo Sinaga menanggapi hal itu, katanya:
“Dalam aksi demo kemarin, ada pendemo menulis Turunkan Nabi Isa. Nabi Isa itu adalah Yesus Kristus. Sampai sekarang saya belum faham apa maksud dari kata2 Turunkan Nabi Isa.
“Yesus Kristus atau Nabi Isa dalam iman orang Kristen adalah Juru Selamat manusia. Tapi itu dulu 2000 tahun lalu waktu datang ke dunia. Kalo Nabi Isa diminta datang untuk yang kedua kali, itu artinya dunia kiamat. Semua kita habis binasa.
“Kalo meminta sesuatu itu yang benar donk... jangan ngeri kali. Banyak yang belum kawin tahu...”
RUU Cipta Kerja Disahkan
Sejumlah wilayah di Tanah Air melakukan demonstrasi atas penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Diketahui, pada Senin, (05/10) DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja yang beberapa pasalnya dinilai menuai kontroversi.
Demonstrasi dari berbagai pihak termasuk mahasiswa dan serikat buruh pun terjadi di sejumlah provinsi.
Namun, pemerintah memastikan tidak ada opsi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Hal tersebut dikatakan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian.
Meski tak ada opsi Perppu, Donny mempersilakan pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja untuk mengajukan uji materil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
YLBHI sayangkan cara penanganan unjuk rasa
Sementara itu, sebelumnya dilansir BBC.com, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan polisi "telah melakukan pelanggaran peraturan Kapolri" saat menangani aksi massa yang menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, pada 6-8 Oktober 2020.
Organisasi ini mencatat tindakan kekerasan oleh aparat polisi terjadi di 18 provinsi dan dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarki.
Pernyataan ini dikeluarkan ketika ribuan orang yang terdiri dari buruh, pelajar, dan mahasiswa di beberapa wilayah ditangkap selama tiga hari rangkaian aksi protes.
Belasan orang yang mayoritas mahasiswa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Kota Parepare, Sulawesi Selatan juga dilaporkan luka-luka.
Tapi Mabes Polri berdalih apa yang dilakukan jajarannya saat menghadapi pengunjuk rasa "sudah sesuai aturan".
Direktur YLBHI, Asfinawati, mencatat tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law terjadi di 18 provinsi di seluruh Indonesia, di mana, para pengunjuk rasa dihalang-halangi dengan cara ditangkap sebelum melakukan aksi.
"Apa yang terjadi hari ini betul-betul menggambarkan Telegram Kapolri yang akibatnya menimpa korban sangat banyak," ujar Asfinawati dalam jumpa pers daring.
"Banyak massa aksi ditangkapi di jalan-jalan, di stasiun, bahkan di jembatan," sambungnya.
Asfin menyebut jika merujuk pada Peraturan Kapolri tentang Penanggulangan Anarki, kepolisian bisa membubarkan massa jika terjadi kericuhan.
Tapi yang terjadi di lapangan, katanya, penembakan gas air mata dan meriam air dilakukan ketika massa sedang menyampaikan pendapatnya atau berorasi.
"Kalaupun mau dibubarkan bukan massa, tapi orang yang membuat kericuhan."
YLBHI menilai kepolisian sebagai aparat negara sudah menjadi "alat pemerintah agar Omnibus Law diberlakukan."
Selain penangkapan, YLBHI juga menerima laporan adanya pemukulan dan penelanjangan terhadap pengunjuk rasa yang ditangkap. Hal itu, menurutnya, menunjukkan "brutalitas polisi".
Tak cuma itu, para pendamping hukum di beberapa daerah tak diberi kesempatan untuk melakukan pendampingan terhadap orang-orang yang ditangkap.