Soal Omnibus Law, Polri Dianggap Tak Bersama Rakyat tapi Bersama Penguasa
https://www.naviri.org/2020/10/soal-omnibus-law-polri-dianggap-tak.html
Naviri Magazine - “Namanya demo, kan dijamin konstitusi,” kata Presiden Joko Widodo jelang pelantikannya sebagai Presiden RI ke-7 untuk periode kedua.
Kendati UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan Presiden juga mengamplifikasinya, saat itu, pada Oktober 2019, polisi melakukan diskresi yang membingungkan. Mereka tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (SPPT) yang menjadi syarat untuk demonstrasi. Di sisi lain, Polri menyatakan tidak melarang unjuk rasa.
Dengan syarat, jika ada keributan atau kericuhan, maka demonstrasi itu akan dibubarkan. Polri mungkin agak trauma dengan demonstrasi tanggal 21-23 Mei 2019 di depang Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berujung ricuh.
Pada tahun 2020, Polri melangkah lebih jauh. Dengan alasan pandemi COVID-19, Polri melarang unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja Omnibus Law di semua daerah, termasuk di depan Gedung DPR/MPR di mana keputusan soal aturan itu diambil.
Kapolri Jenderal Idham Azis, melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020, mengatakan bahwa Polri juga harus mengalihkan isu unjuk rasa anti-Omnibus Law untuk mencegah penularan masif.
“Benar telegram itu, sebagaimana pernah disampaikan Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah pandemi COVID-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam keterangan tertulis.
Selain bertentangan dengan hak menyampaikan pendapat, Polri juga melangkahi aturannya sendiri. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, hanya ada dua syarat pelaksanaan unjuk rasa.
Pertama, memberikan pemberitahuan unjuk rasa terlebih dahulu. Kedua, bila dilakukan di tempat terbuka, maka kegiatan hanya boleh berlangsung hingga pukul 18.00. Salah satu ketentuan lain soal kewajiban peserta, mereka harus taat pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Namun, sampai sekarang tidak ada aturan hukum jelas untuk melarang demonstrasi semasa pandemi. Yang digunakan Polri adalah jeratan pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
Membela Penguasa
Bukan kali ini saja Polri membatasi kerumunan di masa pandemi. Salah satu contoh lain adalah soal pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2020. Jelang masa penetapan calon dan kampanye, Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/2607/IX/OPS.2./2020 tertanggal 7 September 2020.
“Kedua tahapan itu akan menyebabkan interaksi masyarakat secara langsung, yang berpotensi menyebabkan munculnya klaster baru COVID-19. Maka kami perkuat pencegahannya,” ujar Kabaharkam Polri Komjen Agus Andrianto selaku Kaopspus Aman Nusa II-Pencegahan COVID-19 Tahun 2020 dalam keterangan tertulis.
Polri tidak melarang adanya peserta kampanye, tapi membatasi sesuai aturan KPU sampai 100 orang saja di ruang terbuka. Selain itu Polri juga sibuk melakukan patroli siber demi meluruskan isu hoaks menjelang kampanye. Secara bersamaan, Polri juga meminta jajarannya untuk memperbanyak sosialisasi protokol kesehatan.
“Surat Telegram ini bersifat perintah untuk dilaksanakan,” kata Agus lagi.
Hasilnya, Pilkada 2020 menghasilkan banyak pelanggaran protokol kesehatan. Setidaknya ada 243 pelanggaran yang ditemukan Bawaslu. Fakta ini mendorong kelompok masyarakat sipil menyuarakan penundaan Pilkada 2020. Namun pemerintah menegaskan proses Pilkada 2020 tetap harus berjalan untuk menjaga marwah demokrasi.
Tapi penanganan Polri ini berbeda berbeda jika dihadapkan pada demonstrasi anti-Omnibus Law. Dalam telegram soal Omnibus Law, Idham mencatat 12 poin. Dalam poin pertama, Idham tidak menyebut alasan pencegahan demo semata demi COVID-19, tapi “mencegah terjadinya unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial.”
Dalam pelaksanaan Pilkada 2020, mereka yang melanggar protokol kesehatan juga tidak ditindak dengan UU Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu patroli siber Polri dilakukan demi menguatkan Pilkada, sedangkan jelang demonstrasi anti-Omnibus Law, patroli siber justru “untuk membangun opini publik” dengan “melakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.”
Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya dalam akun resmi Twitter dan Instagram bahkan mengunggah poster soal kabar hoaks Omnibus Law yang kerap dipakai para pendukung Jokowi guna mencegah aksi-aksi protes dan mogok kerja untuk menolak UU tersebut.
Slogan klise ala Polri yang kerap digembar-gemborkan di mana-mana seperti ‘Polri bersama rakyat’ memang hanya jargon. Dalam konteks Omnibus Law, Polri bersama penguasa.
Thomas P. Power, peneliti dari Universitas Nasional Australia, mencatat bahwa menjelang Pilpres 2019 Presiden Joko Widodo menggunakan polisi untuk menindak kritik-kritik yang mengarah pada dirinya. Dia membubarkan berbagai demonstrasi atau gerakan yang berseberangan dengannya seperti Ganti Presiden 2019.
Salah satu indikasi penggunaan aparat penegak hukum dalam politik yang paling kentara adalah pernyataan Jokowi pada 2018. Saat itu dia memerintahkan Polri-TNI untuk mensosialisasikan program-program pemerintah. Bagi Power, pelibatan personel Polri-TNI untuk tujuan macam ini lebih bersifat politis dan seharusnya sudah ditinggalkan sejak Orde Baru berakhir.
“Kebijakan ini merupakan upaya yang disengaja dan semakin sistematis untuk melemahkan oposisi yang justru penting dalam sistem demokrasi,” catat Power dalam makalah bertajuk “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline” (2018).
Sedangkan peneliti dari Lowy Institute, Ben Bland, menyatakan harapan orang-orang bahwa penggunaan polisi sebagai alat represi akan berhenti setelah Jokowi menang ternyata keliru. Penggunaan polisi untuk membungkam kritik kepada pemerintah justru semakin intensif di tahun 2020.
Di tengah wabah COVID-19, polisi bukan saja menindak mereka yang menyebarkan informasi keliru soal pandemi, tetapi juga mereka yang menghina presiden atau pejabat pemerintahan lainnya.
“Seperti Indonesia, Jokowi tampak terjebak di antara demokrasi dan otoriter,” catat Bland dalam Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia (2020).
Dampak Absennya Oposisi
Tujuh dari sembilan fraksi yang ada di DPR menyetujui Omnibus Law begitu saja. Dua fraksi yang menolak, yakni Demokrat dan PKS, otomatis tak dapat berbuat banyak. Bagaimanapun mereka kalah suara.
Tindakan semena-mena dari polisi seperti diuraikan sebelumnya tidak banyak diprotes oleh pimpinan partai. Partai Gerindra, misalnya, yang jelang Pilpres 2019 beberapa kali bersuara soal waspada Polri jadi alat politik penguasa, kini hanya diam. Setelah Prabowo Subianto dirangkul menjadi Menteri Pertahanan, partai berlambang kepala garuda ini tidak lagi mengangkat masalah tersebut.
Pendeknya, pemerintahan Jokowi kini hampir tidak memiliki oposisi yang “bergigi” dan ia sepertinya malah berniat meniadakannya. Indikasi ini menjadi makin kuat ketika ia mendapuk Prabowo sebagai menteri.
Padahal peran oposisi penting sebagai bagian dari mekanisme checks and balances dalam pemerintahan. Dengan absennya oposisi yang kuat, checks and balances secara alamiah akan bertumpu pada kekuatan sosial ekstraparlementer seperti gerakan mahasiswa, buruh, dan rakyat kebanyakan.
Dengan disepakatinya UU Cipta Kerja Omnibus Law oleh mayoritas fraksi di DPR yang bertentangan dengan sebagian suara rakyat, maka demonstrasi tampak menjadi upaya paling mungkin, meski bukan paling baik.
Ia adalah bentuk ikhtiar masyarakat sebelum UU itu diteken Presiden. Bagaimanapun, kemungkinan masyarakat menang lewat jalur judicial review di Mahkamah Konstitusi bisa jadi begitu kecil.