Ekonom: Sebelum Ada UU Cipta Kerja, Investasi di Indonesia Sudah Baik
https://www.naviri.org/2020/10/ekonom-sebelum-ada-uu-cipta-kerja.html
Naviri Magazine - Ekonom Faisal Basri mengatakan, alasan pemerintah menerbitkan Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) tidak tepat. Sebab, tanpa UU Ciptaker pertumbuhan investasi asing yang masuk ke RI sangat baik.
Menurutnya, investasi asing yang masuk ke RI bahkan lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Jadi, ia menilai tidak benar jika pemerintah mengatakan investasi asing yang masuk ke RI kalah dengan negara lain.
"Seperti yang sering saya katakan investasi ini tidak begitu masalah di Indonesia, investasi di RI cukup besar dan tidak benar kalau investasi asing itu Indonesia kalah. Vietnam, Thailand dan Malaysia itu investasi asingnya lebih kecil dari RI. Jadi sudah salah kaprah ini," ujarnya.
Ia menilai, bahkan pajak badan sudah diturunkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 1 tahun 2020 yakni dari 22% di tahun ini akan menjadi 20% di tahun 2022. Bahkan jika perusahaan tersebut melantai di bursa efek atau IPO akan dikurangi lagi 3% menjadi hanya 17%.
Artinya, pajak perusahaan di RI hampir sama dengan Singapura. Padahal, Faisal menilai meski pajak badan Indonesia lebih tinggi, investor akan tetap memilih berinvestasi di RI karena lebih menarik.
"Jangan bandingkan RI dan Singapura, justru RI yang paling banyak peroleh investasi dari Singapura. Singapura negara kecil, penduduk hanya 5 juta dan RI 270 juta, jadi pasarnya besar. Di Singapura nggak ada tambang jadi investor nggak bakal ke Singapura. Jadi salah kaprah," kritiknya.
Lanjutnya, bahkan pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi dari China, Brazil, Amerika Selatan, Filipina, Thailand dan Malaysia. Investasi Indonesia hampir sama dengan India. "Investasi hanya kalah kita dengan Vietnam," kata dia.
Bahkan, ia menjelaskan bahwa investasi Indonesia per PDB tertinggi di antara negara Asean. Juga lebih tinggi dari rata-rata negara berpendapatan menengah atas dan menengah bawah.
"Persoalannya di Indonesia adalah investasi banyak, hasilnya sedikit karena boros."