Satu Lagi Tanda Indonesia Bakal Resesi: Penjualan Ritel Jeblok!
https://www.naviri.org/2020/09/satu-lagi-tanda-indonesia-bakal-resesi.html
Naviri Magazine - Satu lagi gambaran kelesuan daya beli rakyat Indonesia terlihat nyata. Penjualan eceran (ritel) masih terus tumbuh negatif alias terkontraksi.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Ritel (IPR) mengalami kontraksi 12,3% pada Juli 2020 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Penjualan ritel belum bisa lepas dari kontraksi selama delapan bulan beruntun.
Bahkan pada Agustus 2020, BI memperkirakan penjualan ritel masih turun dengan kontraksi IPR 10,1% YoY. Dengan begitu, rantai kontraksi penjualan ritel kian panjang menjadi sembilan bulan berturut-turut.
Kabar baiknya, kontraksi penjualan ritel terus melandai. Sejak menyentuh 'kerak neraka' pada Mei 2020, laju penurunan IPR berangsur menipis.
"Perbaikan penjualan diprakirakan terjadi pada hampir seluruh kelompok komoditas yang disurvei, dengan penjualan pada kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau mengalami kontraksi paling rendah, dengan pertumbuhan sebesar -1,9% YoY. Hal itu sejalan dengan peningkatan daya beli masyarakat dan implementasi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB)," tulis laporan BI.
Daya beli masyarakat boleh membaik, tetapi sepertinya masih lemah. Ini tercermin dari laju inflasi inti yang semakin menukik.
Inflasi inti, yang merupakan kelompok barang dan jasa yang harganya susah bergerak, menjadi penanda kekuatan daya beli. Ketika harga barang dan jasa yang 'bandel' saja bisa turun, maka itu artinya permintaan memang betul-betul lemah.
Pada Agustus 2020, inflasi inti Indonesia tercatat 2.03% YoY. Ini adalah yang terendah setidaknya sejak 2009.
Sebelumnya, penjualan ritel yang lesu sudah terlihat dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN menggambarkan transaksi yang terjadi di masyarakat, karena setiap transaksi wajib kena PPN sebesar 10%. Kalau penerimaan PPN turun, maka artinya transaksi kurang semarak, termasuk penjualan ritel.
Pada Januari-Juli 2020, penerimaan PPN (dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah/PPnBM) tercatat Rp 219,49 triliun. Anjlok nyaris 12% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka yang seolah bak cermin dibelah dua dengan kontraksi penjualan ritel.
Berbagai data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang coba diredam dengan pembatasan sosial (social distancing) membuat aktivitas ekonomi seolah mati suri, baik di sisi produksi maupun permintaan.
Konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%. Jadi kalau konsumsi rumah tangga sangat lemah, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi seperti pada kuartal II-2020.
Oleh karena itu, kemungkinan PDB Indonesia masih akan negatif pada kuartal III-2020. Dengan begitu, Indonesia akan membukukan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi dari resesi.
Semakin hari sepertinya peluang terjadinya resesi di Ibu Pertiwi kian mendekati kepastian. Kalau resesi adalah sebuah keniscayaan, menjadi tugas dari para pembuat kebijakan agar resesi itu tidak dalam dan lama. Sebab kalau resesi terlampau dalam dan lama, itu namanya depresi.