Ini Keuntungan dan Kerugian Jika Pilkada Serentak 2020 Ditunda

Ini Keuntungan dan Kerugian Jika Pilkada Serentak 2020 Ditunda

Naviri Magazine - Potensi peningkatan infeksi virus korona (covid-19) dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 sangat tinggi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) pun menyarankan pemerintah menunda perhelatan agenda konstitusional ini.

Namun, saran itu bisa berdampak pada mandeknya pemerintah di 208 daerah yang dijadwalkan menjalankan pergantian pucuk pimpinan. Mengenai nasib pilkada bolanya berada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Permintaan Komnas HAM tersebut saya kira wajar-wajar saja. Sebab mereka memang harus selalu bersikap terhadap hal-hal yang menjadi ancaman pada hak asasi warga.

“Apalagi data yang ada mengindikasikan terus melonjaknya kasus positif covid-19. Termasuk pula menginfeksi calon peserta pemilihan dan penyelenggara," kata Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

Menurut dia, pilkada 2020 ini memang berisiko dan mulai dirasakan oleh jajaran penyelenggara sebagai dampak menjalankan tugas-tugas kepemiluan. Terlebih terjadi banyak pelanggaran protokol kesehatan pada saat pendaftaran calon dan hampir semua pihak gagap dalam mengantisipasi dan mengatasi situasinya.

Kalau pilkada ditunda tentu akan berpengaruh pada kandidat yang sudah menyusun strategi dan agenda kerja pemenangan. Serta juga akan membuat beberapa posisi kepala daerah akan kosong pada saat masa jabatan mereka berakhir.

"Mayoritas, yaitu sekitar 208 daerah masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir pada pertengahan Februari 2021. Tentu Kemendagri harus menyiapkan Penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan posisi tersebut," jelasnya.

Sementara kalau tidak ditunda, pilkada akan punya potensi meningkatnya penyebaran kasus positif covid-19 dan terbentuknya klaster pilkada. Belum lagi tetap ada kemungkinan tidak terkendalinya aktivitas masa kampanye karena terjadinya kerumunan massa sepertu saat pendaftaran calon yang lalu.

"Konsekuensi logis melanjutkan pilkada adalah harus ada jaminan nyata dari KPU, pemerintah, dan DPR pada keamanan dan kesehatan pilkada 2020. Bukannya saling lempar tanggung jawab seperti halnya penyikapan pada pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran calon yang lalu," paparnya.

Kalau tetap memutuskan untuk melanjutkan pilkada dengan segala risiko yang mengikutinya, maka harus ada kedisiplinan dan konsistensi kongkrit yang ditunjukkan peserta pemilihan, penyelenggara, aparat penegak hukum, dan seluruh pemangku kepentingan soal kepatuhan pada penerapan protokol kesehatan.

"Serta mesti ada jaminan sanksi keras dan tegas atas setiap pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi. Jangan cuma jargon untuk tegas di awal, namun gagap dan gelagapan merespon saat terjadi pelanggaran secara kasat mata dan besar-besaran, seperti ketika pendaftaran bacalon yang lalu," ungkapnya.

Kalau pilkada ditunda dan daerah dipimpin pejabat sementara, ia menilai tidak akan berpengaruh banyak. Sebab saat pilkada dilanjutkan saat ini selama masa kampanye para petahana yang maju kembali dan jumlahnya 200an itu juga harus cuti di luar tanggungan negara.

"Itu artinya daerah juga akan dipimpin oleh bukan kepala daerah definitif, melainkan pelaksana tugas. Artinya tak akan ada dampak atau gangguan pada efektifitas pemerintahan," jelasnya.

Sepanjang Kementerian Dalam Negeri juga mampu menempatkan penjabat-penjabat terbaik yang profesional dan punya kapasitas untuk memgang posisi kepemimpinan selama masa peralihan tersebut.

"Malah jadinya saya kira lebih mudah untuk melakukan supervisi dan koordinasi bagi Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian), karena yang sementara memimpin daerah adalah bagian dari birokrasi yang dipimpinnya," pungkasnya.

Related

News 1660962893735850250

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item