Mengapa Manusia Disebut ‘Khalifah di Muka Bumi’?
https://www.naviri.org/2020/07/mengapa-manusia-disebut-khalifah.html
Naviri Magazine - Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 30-33, Allah berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak Engkau ketahui.”
Dia mengajar kepada Adam, nama-nama seluruhnya, kemudian memaparkannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu ‘orang-orang’ yang benar.”
Mereka berkata: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!”
Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”
Ayat tersebut memberikan refleksi tentang satu cerita yang populer di kalangan umat Islam. Suatu ketika, Allah men-tanfidz-kan Nabi Adam sebagai Khalifatullah fil ardli—kira-kira berarti “penanggung jawab di muka bumi”—kepada para malaikat.
Tentu malaikat sedikit komplain: bagaimana mungkin makhluk yang banyak berbuat kerusakan ini kemudian bisa mendapatkan ganjaran sebagai khalifah? Tapi Allah memberikan satu anugerah yang lain terkait hal ini: pengetahuan, yang memungkinkan manusia untuk bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah.
Allah memberikan tes sederhana: menyebutkan nama-nama benda yang ada di bumi, sebagai pertanda mengenai pengetahuan manusia yang (mungkin) bisa digunakan untuk mengelola bumi.
Menurut Syaikh Mustafa Al-Maraghi, sebagaimana dikutip oleh Wahib Mu’thi dalam artikelnya, Khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain, atau pengganti dalam arti makhluk yang diberi wewenang oleh Allah agar melaksanakan perintah-Nya di muka bumi.
Artinya, “khalifah” berarti bertanggung jawab dari semua makhluk di muka bumi untuk mengelola semua ciptaan Allah yang ada di muka bumi, baik yang hidup maupun yang mati.
Mengapa manusia—dan bukan yang lain—yang diberi kepercayaan? Ayat tersebut menggariskan dua hal penting: pengetahuan untuk ‘mengelola’ bumi dan seisinya, serta (melalui pengetahuan itu) kemampuan untuk menghindari pertumpahan darah dan kerusakan.
Ayat-ayat lain menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah ini untuk menjaga bumi dari kerusakan. Di Surah Al-Baqarah ayat 60, Allah berfirman, “Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”
Di ayat tersebut, bukan hanya Allah melarang kita untuk berbuat kerusakan di berbagai belahan bumi (dengan teknologi perang yang tidak etis, misalnya), tetapi juga menegaskan dua ruang yang harus dijaga karena berdampak pada orang banyak: tempat untuk makan dan minum (atau, jika kita bawa dalam konteks yang luas, kita mungkin bisa menyebutnya sebagai “alat produksi”).
Dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 165, Allah juga berfirman, “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesemua ayat tersebut menandaskan tugas etis Khalifah, yaitu menghindarkan pertumpahan darah dan menjaga bumi dari kerusakan.