Memahami Mahar Musamma dan Mahar Mitsli Dalam Perkawinan
https://www.naviri.org/2020/06/memahami-mahar-musamma-dan-mahar-mitsli.html
Naviri Magazine - Mahar merupakan hak istri, berupa harta yang wajib dibayarkan oleh suami saat akad nikah. Dalam hal ini, mahar tidak mesti harus dibayar kontan saat itu juga, dan bukan hanya terbatas pada bentuk barang saja.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, dalam Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz II, hal. 463:
“Maskawin boleh dalam bentuk piutang, barang, kontan, maupun ditempokan, karena nikah merupakan akad untuk mendapatkan manfaat, maka boleh dilakukan dengan hal-hal yang telah kami sebutkan, sebagaimana dalam akad sewa. Maskawin boleh juga berupa jasa, seperti dalam bentuk pelayanan, pengajaran Al-Qur’an, atau hal-hal lain berupa jasa yang diperbolehkan.”
Dalam persoalan mahar, ada dua permasalahan yang menarik untuk dibahas, yakni mahar musamma dan mahar mitsli. Masih dari kitab yang sama, kita bisa melihat keterangan tentang permasalahan tersebut pada hal. 465:
“Seorang perempuan berhak memiliki mahar musamma yang disebutkan dalam akad apabila akadnya sah, dan tetap berhak memiliki mahar mitsli apabila akadnya rusak.”
Pemahamannya adalah bahwa pada prinsipnya, mahar merupakan sejumlah harta yang harus dibayarkan oleh suami, yang disebabkan suami telah mendapatkan manfaat dari pernikahan yakni halalnya berhubungan intim. Oleh karena itu, menurut para ulama, tetapnya kewajiban pembayaran mahar dimulai sejak hubungan itu terjadi.
Untuk memudahkan pemahaman, kita contohkan seorang suami yang memberikan mahar secara mengutang. Sebelum hubungan intim terjadi, meski sudah akad, mahar tersebut belum lagi tetap kewajibannya. Tetapnya kewajiban pembayaran mahar dimulai sejak ia sudah berhubungan dengan istrinya.
Pada saat tersebut, jika setelah diteliti bahwa pernikahan itu sah adanya, maka yang wajib baginya ialah mahar musamma, yakni mahar sebagaimana yang disebutkan ketika akad. Namun, apabila setelah diteliti ternyata pernikahan tidak sah, semisal karena kedapatan ada penyakit yang menyebabkan batalnya nikah, maka yang wajib bukan lagi mahar musamma, namun mahar mitsli.
Mahar mitsli ialah mahar yang disesuaikan dengan mahar-mahar yang dibayarkan pada sebayanya perempuan tersebut. Bisa dengan cara melihat pada mahar yang diterima oleh saudara-saudara perempuannya, atau bibi-bibinya.
Lantas, bagaimana status mahar apabila pasangan tersebut bercerai, sebelum terjadinya hubungan suami-istri? Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), halaman 236, menjelaskannya sebagai berikut:
“Gugur sebab talak sebelum berhubungan, separuh mahar.”
Hal ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 237: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.”
Meskipun demikian, apabila pihak suami merelakan keseluruhan mahar, hal tersebut diperbolehkan, dan bahkan lebih baik, sebagaimana kelanjutan ayatnya:
“Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafanmu lebih dekat kepada takwa.”
Demikian, semoga bisa dipahami dengan baik, dan bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.