Kota Pekalongan dan Seisinya Terancam Tenggelam oleh Naiknya Air Laut
https://www.naviri.org/2020/06/kota-pekalongan-dan-seisinya-terancam.html
Naviri Magazine - Setiap kota di dunia memiliki permasalahan yang beragam, termasuk potensi ancaman bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia. Indonesia termasuk salah satu negara dengan permasalahan perkotaan yang kompleks.
Sebagai negara kepulauan dengan kondisi geologi yang khas, permasalahan antar wilayah juga dapat berbeda. Mulai dari kota besar hingga kota kecil maupun daerah pesisir hingga dataran tinggi, semua memiliki permasalahan yang harus dihadapi. Kali ini akan dibahas permasalahan perkotaan yang muncul di Kota Pekalongan.
Bagi yang belum tahu, Kota Pekalongan terletak di Jawa Tengah dan termasuk dalam pesisir pantai utara. Seperti kebanyakan daerah pesisir, permasalahan yang kini dihadapi Kota Pekalongan meliputi banjir rob, intrusi air laut, hingga penurunan tanah.
Banjir rob merupakan peristiwa naiknya muka air laut hingga menggenangi daratan. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan iklim yang ekstrem hingga penurunan tanah.
Banjir rob merupakan bencana yang sudah sering terjadi di wilayah utara Pulau Jawa termasuk Kota Pekalongan. Banjir rob yang terjadi di wilayah tersebut sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Jika masalah ini terus dibiarkan terjadi, ada kemungkinan Kota Pekalongan akan tenggelam.
Yang diperlukan sekarang adalah penanggulangan dampak dari bencana secara maksimal, dengan melibatkan seluruh pihak.
Umumnya, banjir rob memang terjadi karena pemanasan global yang memicu terjadinya kenaikan muka air laut. Permasalahan tersebut juga bisa dipicu bahkan diperparah oleh peristiwa penurunan tanah. Kondisi seperti itulah yang terjadi di Kota Pekalongan, dimana penurunan tanah bisa mencapai 10-20 cm per tahun.
Hal yang jelas menjadi faktor penyebabnya adalah pengambilan air tanah yang berlebihan melalui program Pamsimas. Lantas bagaimana sebenarnya kondisi geologi dan hidrogeologi Kota Pekalongan?
Secara geologi, Kota Pekalongan tersusun atas material lepas bervariasi, mulai dari pasir, kerikil, lempung, lanau, hingga tuf yang merupakan rombakan dari batuan yang berumur lebih tua (Condon, dkk., 1996).
Sedangkan secara morfologi, Kota Pekalongan termasuk ke dalam dataran rendah. Untuk daerah tinggi berupa morfologi pegunungan terletak di Kabupaten Pekalongan yang berbatasan dengan Kota Pekalongan di sebelah selatan.
Sistem akuifer berupa endapan aluvium seperti di Kota Pekalongan tidak sebagus sistem akuifer endapan gunung api maupun batuan sedimen, sehingga menghasilkan aliran air tanah yang relatif lebih rendah (air tanah dangkal).
Kebutuhan air yang terus meningkat setiap tahun menyebabkan masyarakat mencari alternatif sumber air selain air tanah dangkal, yaitu air tanah dalam.
Sejalan dengan siklus hidrologi bahwa air mengalir dari daerah resapan (recharge) yang umumnya berupa daerah yang lebih tinggi seperti pegunungan menuju daerah lepasan (discharge) berupa dataran yang lebih rendah seperti pantai.
Hal tersebut juga terjadi di Kota Pekalongan, dimana air mengalir dari daerah selatan berupa jalur Pegunungan Serayu Utara, menuju dataran yang berada di sebelah utara. Hal tersebut berdampak pada produktivitas akuifer yang relatif lebih tinggi di wilayah pesisir.
Potensi air tanah di Kota Pekalongan termasuk ke dalam cekungan air tanah (CAT) Pekalongan – Pemalang. Berdasarkan data potensi cekungan air tanah yang dimiliki Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, CAT tersebut memiliki potensi yang cukup tinggi selain CAT Karanganyar–Boyolali dan CAT Semarang-Demak.
Kondisi-kondisi di atas yang diperkirakan menjadi alasan dilakukannya pemanfaatan akuifer dalam secara masif di Kota Pekalongan. Padahal pemanfaatan air tanah juga perlu adanya pembatasan karena cadangan air tanah dalam lapisan akuifer membutuhkan waktu untuk terisi kembali.
Dampak dari pemanfaatan air tanah dalam melalui sumur bor secara berlebihan adalah intrusi air laut dan penurunan tanah.
Air tanah yang bersifat tawar dapat terkontaminasi oleh air laut yang asin, karena keseimbangan hidrostatik yang terganggu. Hal inilah yang menyebabkan terbatasnya pasokan air bersih seperti yang terjadi di wilayah Pantura.
Dampak lainnya berupa penurunan tanah yang disebabkan karena tekanan hidrostatis dalam akuifer berkurang, seiring dengan pengambilan air tanah yang berlebihan, sehingga meninggalkan ruang-ruang kosong pada pori-pori tanah.
Dalam jangka waktu tertentu, lapisan akuifer tersebut akan mengalami pemampatan, sehingga terjadilah penurunan tanah. Peristiwa ini dapat dipercepat dengan beban bangunan yang berada di atasnya. Semakin masif pengambilan air tanah di wilayah tersebut, semakin cepat pula penurunan tanah yang terjadi.
Untuk mengatasi bencana ini, diperlukan kerjasama yang baik antara semua pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat hingga pelaku bisnis di Kota Pekalongan. Hal yang bisa dilakukan adalah membatasi atau bahkan jika mungkin untuk dilakukan penghentian pengambilan air tanah untuk mengurangi laju penurunan tanah yang lebih lanjut.
Jika pengambilan air tanah dalam dibatasi, maka pemerintah harus mencari sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan mendasar manusia ini lengkap dengan infrasutrukturnya.
Contoh lainnya seperti pembuatan sumur injeksi untuk mengembalikan cadangan air tanah serta pembuatan biopori untuk meningkatkan daya resap tanah terhadap air. Pembangunan dan penataan ruang di Kota Pekalongan selanjutnya juga harus disesuaikan dengan adanya bencana seperti banjir rob dan penurunan tanah.