Kisah Para Penyelidik Wabah yang Bekerja Mengatasi Corona di Indonesia (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2020/06/kisah-para-penyelidik-wabah-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Para Penyelidik Wabah yang Bekerja Mengatasi Corona di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Tugas tim penyelidik epidemiologi di lapangan tidak mudah. Butuh teknik untuk mengumpulkan informasi dari orang yang kontak erat dengan pasien. Petugas penyelidik epidemiologi harus pintar-pintar membaca karakteristik orang yang menjadi sasaran.
“Masyarakat di Kebayoran Lama sama Kebayoran Baru akan berbeda. Kemudian di Pasar Minggu dengan Jagakarasa, dengan Setiabudi, dengan Tebet, akan berbeda,” Fiena berujar.
Terlebih, semakin hari terjadi perluasan kelompok masyarakat yang terpapar COVID-19. Di awal pandemi, menurut Fiena, sebagian besar penderita berasal dari kelompok menengah ke atas. Belakangan, trennya bergeser ke kalangan masyarakat bawah. Penyelidik epidemiologi dituntut untuk bisa beradaptasi menggunakan pendekatan berbeda.
“Saya awalnya berharap ini berhenti di klaster atas, terus disetop di tengah. Ternyata enggak, terus ke (masyarakat) menengah, ke bawah, sampai paling bawah banget. Gila banget emang penyakit ini,” kata Fiena.
Apalagi, menelusuri orang-orang bukan hal mudah. Tidak semua orang bersedia menerima tim penyelidik epidemiologi.
“Ada yang kami hubungi, (begitu) tahu kami petugas kesehatan, teleponnya langsung ditutup, terus diblok. Tim saya ada yang diblok,” ungkap Dokter Abimanyu Soeriawidjaja. Ia merupakan Koordinator Penyelidikan Epidemiologi Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Apabila target tidak kooperatif, tim epidemiologi terpaksa harus berkunjung langsung. Itu pun belum tentu langsung diterima.
“Beberapa ada yang sengaja enggak bukain rumah. Pintu sengaja ditutup,” kata Abi sambil terkekeh.
Tim penyelidik epidemiologi tidak cuma bertugas mengidentifikasi orang yang kontak erat dengan pasien. Mereka juga harus memantau orang-orang itu agar benar-benar mengisolasi diri selama 14 hari.
Tim puskesmas tentu tak mungkin mengawasi semua dengan sumber daya terbatas. Abi mengatakan, biasanya aparat di lokasi orang yang diawasi dimintai bantuan untuk memonitor.
Di puskesmas, tim epidemiologi merupakan tenaga kesehatan. Di samping menelusuri kontak dekat pasien COVID-19, mereka tetap harus mengerjakan layanan kesehatan rutin. Oleh karena itu mereka harus bisa membagi waktu. Dalam satu hari, biasanya ada jadwal khusus saat para tenaga kesehatan puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi.
Tidak cuma kontak erat pasien, pengawasan pasien positif yang menjalani isolasi mandiri di rumah juga menjadi tanggung jawab tim penyelidik epidemiologi.
“Kadang pasien-pasien ini bandel. Yang susah itu yang OTG-OTG (orang tanpa gejala). Dia merasa dirinya sehat, tapi dia positif, disuruh isolasi malah keluyuran,” cerita Abi.
Itu jelas menjadi pekerjaan tambahan bagi tim penyelidik epidemiologi. Mereka harus menjemput pasien isolasi mandiri yang membandel untuk dibawa ke rumah sakit.
Di lapangan, urusan jemput-menjemput ini pun tidak mudah. Pasien tertentu ada kalanya menolak dibawa.
“Yang terlama itu kemarin. Kami berangkat dari jam sembilan pagi untuk jemput dia, baru siap dibawa jam satu siang. Negosiasinya susah,” tutur Abi.
Padahal tim dari puskesmas sudah didampingi lurah, Babinsa, hingga Satpol PP. Abi dan tim harus berunding dengan keluarga pasien dengan mengenakan alat pelindung diri level tiga lengkap.
“Lumayan itu keringetnya kalau mau nurunin berat badan,” kata Abi setengah bercanda.
Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.