Dampak Corona, Jumlah Orang Miskin Baru di Jakarta Naik Dua Kali Lipat
https://www.naviri.org/2020/06/dampak-corona-jumlah-orang-miskin-baru.html
Naviri Magazine - Tiga tahun sudah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memimpin ibu kota. Di era kepemimpinannya, jumlah penduduk miskin berkurang sedikit demi sedikit. Dari 3,78 persen pada 2017 atau setara 393 ribu orang penduduk miskin menjadi 3,47 persen pada 2018. Terakhir, angka kemiskinan terungkap 3,42 persen.
Anies boleh bangga. Selain angkanya menurun, tingkat kemiskinan di DKI masih tercatat yang terendah dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
Namun, virus corona yang mulanya berkembang di Wuhan, China, menular ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Ironisnya, DKI Jakarta jadi pusat episentrum dengan kasus orang terinfeksi tertinggi.
Dampaknya, merusak perekonomian di dalam negeri, termasuk juga ekonomi di ibu kota. Rekor DKI sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah yang baru dikantongi Anies pun berpotensi hanya seumur jagung. Saat Jakarta berulang tahun ke-493, masalah kemiskinan terus turut serta.
Bahkan, Ekonom UI, Fithra Faisal, memperkirakan pandemi corona memunculkan banyak penduduk miskin baru di DKI. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya diperkirakan 300 ribu-500 ribu orang miskin baru di DKI.
Jika benar, berarti, DKI akan mencatat lonjakan angka kemiskinan dua kali lipat dari data terakhir.
"Potensi kemiskinan di DKI Jakarta akan membengkak, mungkin sekitar 300 ribu sampai 500 ribu orang tambahannya. Angka kemiskinan akan lebih tinggi dari sekarang," ucap Fithra.
Ada banyak indikator yang membuat DKI Jakarta akan mendapat banyak penduduk miskin baru. Pertama, provinsi ini merupakan salah satu episentrum virus corona di Indonesia.
Data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat setidaknya ada 9.830 kasus positif virus corona di ibu kota. Dari jumlah itu, sebanyak 5.054 orang sembuh dan 615 orang meninggal.
Kedua, kasus yang tinggi membuat aktivitas ekonomi masyarakat terhenti. Mulai dari perkantoran, pusat perbelanjaan, hingga Tanah Abang, pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara yang ada di pusat Jakarta.
"Jumlah kasus menjadi faktor utama karena setelah itu PSBB dilakukan, aktivitas ekonomi pun terhenti. Selama kurva pertambahan kasus belum membaik, sulit ekonomi Jakarta bisa berjalan," jelasnya.
Padahal, salah satu kekuatan ekonomi Jakarta ada di sektor perdagangan yang mengandalkan mobilitas cepat. Belum lagi, redupnya lampu-lampu kios Tanah Abang terjadi saat ramadan dan lebaran, ketika denyut perekonomian biasanya sedang berdegup kencang.
"Esensi ekonomi Jakarta adalah perdagangan, mobilitas, dan transportasi. Begitu juga dengan hotel dan restoran, ketika itu semua tidak bisa beroperasi, ekonomi melemah," imbuhnya.
Proyeksi Fithra, macetnya seluruh aktivitas ekonomi ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta yang sebelumnya berada di kisaran 5 persen-6 persen pun anjlok ke kisaran 1-2 persen.
Masalahnya, sambung Fithra, kondisi tingkat kemiskinan Jakarta menjadi indikator bagi daerah-daerah lain. Maklum, Jakarta memiliki sekitar 10 persen dari total 120 juta calon masyarakat kelas menengah (aspiring middle income class) di Indonesia.
Artinya, penduduk miskin di Jakarta nantinya akan banyak diisi oleh mereka-mereka yang sebelumnya sudah bercita-cita menjadi masyarakat kelas menengah, namun berakhir gagal dan terperosok ke jurang kemiskinan. "Tentu ini perlu diperhatikan, dampaknya bisa ke nasional," ucapnya.
Saat ini secara nasional, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 24,79 juta penduduk atau 9,22 persen dari total populasi. Jumah penduduk miskin secara nasional pun dipastikan bakal menanjak.
Lantas, apa yang harus dilakukan Anies?
Menurutnya, sejauh aktivitas ekonomi di Jakarta belum bisa berjalan penuh, maka kebijakan pemberian bantuan sosial (bansos) mutlak dilakukan. Suka tidak suka, hal ini masih harus dilakukan sembari membuka akses bagi aktivitas masyarakat.
Namun, pembukaan aktivitas masyarakat di era tatanan hidup baru (new normal) pun perlu hati-hati. Ibaratnya, boleh dilakukan, tapi jangan terlalu 'ngoyo'.
"Karena sektor-sektor ekonomi yang dibuka sekarang ini daya ungkitnya memang tidak akan besar bagi perekonomian, mungkin hanya sekitar 20-30 persen pada kuartal II dan III 2020. Tapi setidaknya yang diharapkan adalah pembiasaan bagi masyarakat," katanya.
Di sisi lain, kebijakan ini perlu tetap diselimuti dengan kehati-hatian. Sebab, gelombang kedua pandemi corona bukan tidak mungkin terjadi.
"Misal sekarang buka mal, itu memang daya keterkaitannya dengan sektor lain tinggi, tapi tetap perlu protokol kesehatan ketat," ujarnya.
Senada, Ekonom Indef, Eko Listyanto, memastikan rekor jumlah penduduk miskin terendah di Jakarta akan sirna. Ia turut memperkirakan jumlah penduduk miskin akan meningkat dua kali lipat dari data terakhir.
"Khususnya yang tertinggi biasanya di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu yang lebih tinggi dari pusat dan selatan," tuturnya.
Faktor jumlah kasus dan terbatasnya aktivitas ekonomi disebut Eko seperti halnya yang sudah diungkapkan Fithra. Di sisi lain, ada pengaruh dari tingginya jumlah korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Jakarta.
"Ketika omzet turun bahkan usaha tutup, tentu ada para pekerja yang akan dikorbankan. Mulai dari kafe di DKI, restoran, hingga usaha pinggir jalan, itu semua memberi sumbangan pengangguran saat ini," katanya.
Solusinya, tentu bukan sekadar bansos, namun Anies juga perlu menyelamatkan penduduk miskin di Jakarta dengan penciptaan lapangan kerja baru yang relatif terpakai di era corona. Selain itu, perlu juga pendampingan, pembinaan, dan tentunya pembiayaan secara komunitas agar lebih efektif bagi pengusaha UMKM.
Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.