Biografi Mao Zedong dan Pemikiran-pemikirannya (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2020/06/biografi-mao-zedong-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Biografi Mao Zedong dan Pemikiran-pemikirannya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Konsep Mao kedua yang penting adalah mengenai pengetahuan, yang juga ia ambil dari paham Marxisme. Mao berpendapat bahwa pengetahuan merupakan lanjutan dari pengalaman di alam fisik, dan bahwa pengalaman itu sama dengan keterlibatan.
“Jika kau mencari pengetahuan, kau harus terlibat dengan keadaan yang berubah. Jika kau ingin mengetahui bagaimana rasa sebuah jambu, maka jambu itu harus diubah dengan cara memakannya. Jika kau ingin mengetahui struktur atom, kau harus melakukan eksperimen-eksperimen fisika dan kimia untuk mengubah status atom. Jika kau ingin mengetahui teori dan metode revolusi, kau harus mengikutinya. Semua pengetahuan sejati muncul dari pengalaman langsung.”
Hanya setelah seseorang mendapatkan pengalaman, ia baru bisa melompat ke depan. Setelah itu pengetahuan dipraktikkan kembali, yang membuat seseorang mendapatkan pengalaman lagi dan seterusnya.
Di sini diperlihatkan bahwa Mao tidak saja mengenal paham Marxisme, tetapi juga paham neokonfusianisme, seperti dikemukakan oleh Wang Yangmin yang hidup pada abad ke 15 sampai abad ke 16.
Mao dan kebijakan politiknya
Mao membedakan dua jenis konflik; konflik antagonis dan konflik non-antagonis. Konflik antagonis, menurutnya, hanya bisa dipecahkan dengan sebuah pertempuran, sedangkan konflik non-antagonis bisa dipecahkan dengan sebuah diskusi.
Menurut Mao, konflik antara para buruh dan pekerja dengan kaum kapitalis adalah konflik antagonis, sedangkan konflik antara rakyat Cina dengan partai adalah konflik non-antagonis.
Pada 1956, Mao memperkenalkan kebijakan politik baru, di mana kaum intelektual boleh mengeluarkan pendapat mereka sebagai kompromi terhadap partai yang menekannya, karena ingin menghindari penindasan kejam disertai motto: “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing.”
Tetapi, ironisnya, kebijakan politik ini gagal: kaum intelektual tidak puas dan banyak mengeluarkan kritik. Mao sendiri berpendapat bahwa ia telah dikhianati oleh mereka, dan ia membalas dendam. Sekitar 700.000 kaum intelektual ditangkapinya, dan disuruh bekerja paksa di daerah pedesaan.
Mao percaya sebuah revolusi yang kekal sifatnya. Ia juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan kaum kontra-revolusioner. Oleh karena itu, secara teratur, ia memberantas dan menangkapi yang ia anggap lawan-lawan politiknya, dan para pengkhianat atau kaum kontra-revolusioner.
Peristiwa yang paling dramatis dan mengenaskan ialah peristiwa Revolusi Kebudayaan yang terjadi pada 1966. Pada tahun 1960-an, para mahasiswa di seluruh dunia memang sedang senang memberontak terhadap apa yang mereka anggap The Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu pula di Cina. Bedanya, di Cina mereka didukung oleh para dosen dan pembesar-pembesar partai, termasuk Mao sendiri.
Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah Mao, mereka menyerang antek-antek kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta kaum kontra-revolusioner lainnya.
Sebagai contoh fanatisme, mereka antara lain menolak berhenti di jalan raya apabila lampu merah menyala, karena mereka berpendapat bahwa warna merah, yang merupakan simbol sosialisme, tidak mungkin mengartikan sesuatu yang berhenti.
Para anggota Garda Merah pada 1966 sangat membabi buta dalam memberantas kaum kontra revolusioner, sehingga Cina dalam keadaan amat genting dan hampir hancur; ekonominya pun tak jalan.
Akhirnya, Mao terpaksa menurunkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk menanggulangi mereka, dan membendung fanatisme mereka. Hasilnya adalah perang saudara yang baru berakhir pada 1968.
Kegagalan Mao
Pada 1958, Mao meluncurkan apa yang ia sebut Lompatan Jauh ke Depan, di mana daerah pedesaan direorganisasi secara total. Di mana-mana didirikan perkumpulan desa (komune). Secara ekonomis, ternyata ini semua gagal. Komune-komune menjadi satuan-satuan yang terlalu besar, dan tak bisa terurusi. Diperkirakan, kurang lebih 20 juta jiwa penduduk Cina kala itu tewas sia-sia.
Mao Zedong dan PBB
Republik Rakyat Cina, semenjak diproklamasikan oleh Mao pada 1949, tidak diakui oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat tetap mengakui Republik Nasionalis Cina yang semenjak tahun 1949 hanya menguasai pulau Formosa atau Taiwan dan sekitarnya.
Cina, yang sejak didirikannya PBB pada tahun 1945 sudah menjadi anggota Dewan Keamanan, secara tetap bersama Amerika Serikat, Britania Raya, Perancis dan Uni Soviet (Rusia) sebagai pemenang Perang Dunia II, tetap diwakili pula. Cuma yang mewakili adalah pemerintah nasionalis yang sekarang hanya memerintah Taiwan saja.
Hal ini menjadi aneh, sebab Cina daratan yang kala itu berpenduduk kurang lebih 800 juta jiwa tidak diwakili di PBB; yang mewakili hanya Taiwan yang kala itu berpenduduk mungkin tidak lebih dari 10 juta jiwa.
Maka, pada akhir tahun 1960-an, presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, mulai mendekati Republik Rakyat Cina. Akhirnya, dengan persetujuan Uni Soviet, RRC menjadi anggota Dewan Keamanan PBB mulai tahun 1972, dan menggantikan Taiwan.
Warisan Mao dan Republik Rakyat Cina saat ini
Pada 9 September 1976, Mao Zedong meninggal dunia. Setelah itu, Republik Rakyat Cina menjadi semakin terbuka. Normalisasi hubungan diplomatik dengan Indonesia juga terwujud pada 1992.
Pada saat ini, Cina tampil sebagai raksasa yang baru bangun dari tidurnya, dengan pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Bahkan Cina bisa melampaui Rusia dalam perkembangannya.