Apakah Menukar Uang Baru Menjelang Idul Fitri Termasuk Riba?
https://www.naviri.org/2020/05/menukar-uang-baru-menjelang-idul-fitri.html
Naviri Magazine - Pada Hari Raya Idul Fitri, ada fenomena unik yang terjadi di Indonesia, yaitu menukar uang dengan fisik yang sudah kurang bagus dengan uang baru yang masih bagus. Fenomena ini pun menjadi bisnis musiman bagi sebagian orang, dengan mengambil untung dari transaksi pertukaran tersebut.
Misalnya uang dengan nominal Rp100.000 ditukar dengan uang pecahan nominal Rp10.000 sebanyak 9 lembar, yakni nilai yang ditukar menjadi Rp90.000.
Artinya, nilai uang yang dipecahkan itu dikurangi 10% dari nominal uang yang ditukarkan, sebagai jasa penukaran. Bisnis ini disebut dengan bisnis ‘anti rugi’, karena terjual atau tidak, ada yang menukar ataupun tidak, uang tersebut tetap ada di tangan mereka.
Terjual mereka untung, tidak terjual pun uang tersebut tetap bisa mereka belanjakan. Hal inilah yang menjadi pendorong sebagian kalangan memanfaatkan fenomena ini sebagai sumber penghasilan tambahan.
Namun, secara logis, seharusnya setiap bisnis memiliki rosiko, karena bisnis sendiri adalah risiko. Bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena ini?
Pandangan Islam terhadap pertukaran barang
Dalam ilmu fiqh, transaksi seperti itu termasuk ke dalam kategori riba, atau lebih spesifik tergolong dalam riba fadhl. Haditsnya sebagai berikut:
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan.” (HR. Muslim)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, riba juga berlaku pada selain enam komoditi tadi. Komoditi lain berlaku hal yang sama jika memiliki kesamaan illat (alasan). Namun para ulama berselisih mengenai apa illat dari masing-masing komoditi.
Barang ribawi merupakan barang-barang yang jika ditransaksikan memiliki ketentuan-ketentuan khusus secara syariah, seperti emas, perak, gandum, gandum merah (jelai), kurma, dan garam.
Yang jelas, mereka sepakat bahwa emas dan perak memiliki kesamaan illat. Sedangkan kurma, gandum, dan garam, juga memiliki kesamaan illat sendiri.
Riba fadhl merupakan pertukaran dengan tambahan pada salah satu barang yang saling ditukar. Riba ini tidak terjadi kecuali pada dua barang ribawi yang sejenis, seperti satu takar gandum dengan satu setengah takar gandum yang sama, atau satu gram emas dengan satu setengah gram emas.
Selain penjelasan di atas, perlu diketahui juga kaidah yang harus dipahami dalam permasalahan riba. Kaidah yang menyangkut kasus ini adalah:
“Setiap barang yang jenis dan ilatnya sama boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat; yaitu sama banyaknya dan tunai.”
Maka, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam perukaran barang yang sejenis dan masuk ke dalam barang ribawi, yaitu harus sama banyak (nilainya) dan tunai.
Fenomena tukar uang lebaran dalam perspekif Islam
Maka sudah sangat jelas dalam fenomena tukar uang ini, uang kertas disamakan fungsinya dengan emas dan perak karena memiliki kesamaan fungsi, yaitu sebagai alat tukar. Hukumnya pun akan sama, uang rupiah ditukar dengan uang rupiah harus dilakukan secara tunai dan nilai yang sama.
Sehingga kasus tukar menukar uang atau bisnis ‘anti rugi’ ini sangat jelas mengandung riba fadhl. Fenomena ini diperkuat salah satu konsekuensi pertukaran uang (menurut hasil keputusan Muslim World League, Muktamar V, 1982 di Makkah dan Muktamar III OKI 1986 di Yordania) yaitu tidak boleh menukar uang menjadi pecahan dalam satu mata uang dengan jumlah nominal berbeda, sekalipun dilakukan tunai.
Maka sudah sepatutnya kita menjauhi kegiatan transaksi tukar uang dengan persyaratan tambahan tersebut. Karena Allah SWT sudah sangat jelas mengancam pelaku riba dengan acaman yang sangat berat dan masuk ke dalam dosa besar.
Sebuah dosa yang sampai-sampai Allah menyatakan perang kepada pelaku riba, yang disampaikan pada Surat Al-Baqarah ayat 279 berikut:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Rekomendasi
Agar niat baik kita dalam bersedekah bukan malah mendapatkan dosa riba, perlu diketahui cara yang benar dalam melakukan transaksi sesuai syariat Islam, khususnya dalam menghadapi fenomena tukar uang yang hampir selalu terjadi setiap tahun saat mendekati Hari Raya Idul Fitri.
Untuk itu, ada beberapa rekomendasi yang bisa digunakan untuk melakukan tukar uang receh tanpa terjerat dosa riba. Pertama, pergi ke tempat yang telah disediakan oleh Bank Indonesia sebagai counter khusus penukaran uang.
Untuk di Jakarta, Bank Indonesia (BI) biasanya menggelar penukaran uang receh di Lapangan IRTI Monas. Selain itu, sebanyak 14 bank juga berpartisipasi dalam penukaran uang tersebut.
Kedua, jika memang benar-benar terpaksa tidak bisa mendatangi tempat-tempat penukaran yang disediakan oleh BI, gunakanlah akad ijarah. Kita bisa meminta seseorang untuk menukarkan uang kita ke bank dengan nilai yang sama dan tunai.
Dalam akad tersebut, diperbolehkan memberi upah (ujroh) kepada orang yang dimintakan pertolongan penukaran uang, dengan syarat besarnya ujroh tidak boleh tergantung dengan banyaknya uang yang ditukarkan.
Contoh, ketika kita meminta seseorang menukarkan uang sebesar 5 juta, ujroh yang disepakati sebesar 300 ribu, maka ketika menukarkan uang sebesar 10 juta atau berapa pun besarnya kita tetap memberi ujroh sebesar 300 ribu.
Wallahu a’lam bi shawab.