Benarkah Sinar Matahari Bisa Mematikan Virus Corona? Ini Penjelasannya
https://www.naviri.org/2020/04/benarkah-sinar-matahari-bisa-mematikan-virus-corona.html
Naviri Magazine - Sebuah studi terbaru menunjukkan, novel coronavirus atau yang juga dikenal SARS-CoV-2 penyebab pandemi COVID-19 bisa dengan cepat dihancurkan oleh sinar matahari. Riset ini memang belum dipublikasikan secara resmi, karena masih menunggu evaluasi pihak dari luar tim ilmuwan yang terlibat.
Temuan tersebut telah disampaikan William Bryan, penasihat sains dan teknologi untuk Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat.
Melalui pernyataannya, Bryan menyebut bahwa ilmuwan yang bekerja untuk Gedung Putih telah menemukan bahwa sinar ultraviolet memiliki dampak kuat pada patogen, yang kemudian memberi harapan besar penyebaran virus corona bisa menyusut selama musim panas.
"Pengamatan kami yang paling mencolok hingga saat ini adalah efek kuat yang dimiliki cahaya matahari untuk membunuh virus, baik di permukaan maupun di udara," kata Bryan mewakili para ilmuwan, sebagaimana diberitakan Medical Xpress.
Efek serupa, lanjut Bryan, juga dijumpai pada peningkatan suhu dan kelembapan, yang selama ini juga disebut-sebut bisa memusnahkan virus corona dengan mudah.
Untuk menguatkan temuan yang menyebut sinar ultraviolet mampu melawan patogen, penelitian ini masih memerlukan peninjauan dari ilmuwan independen, terutama untuk melihat seberapa kuat metodologi yang digunakan periset.
Sinar ultraviolet, seperti yang telah diketahui sejak lama, memiliki efek mensterilkan, karena radiasinya yang mampu merusak materi genetik virus, sehingga menghambatnya untuk replikasi diri.
Pertanyaan mendesak untuk penelitian ini adalah, seberapa besar intensitas dan panjang gelombang sinar UV yang digunakan dalam riset. Lantas, apakah sinar matahari yang dibutuhkan itu cukup sesuai dengan kondisi cahaya alami di musim panas?
"Akan baik untuk mengetahui bagaimana riset itu dilakukan, dan bagaimana hasilnya diukur," ujar Benjamin Neuman, ketua ilmu biologi di Texas A&M University-Texarkana kepada AFP.
Dalam sebuah presentasi, Bryan menampilkan ringkasan dari temuan-temuan yang dilakukan di Pusat Analisis dan Penanggulangan Biodefas Nasional di Maryland.
Dalam penjelasannya, diketahui bahwa waktu paruh virus adalah 18 jam ketika berada pada suhu yang mencapai 70 hingga 75 derajat Fahrenheit (21 hingga 24 derajat Celsius) dengan kelembapan 20 persen pada permukaan yang tidak berpori. Ini berlaku pula untuk gagang pintu dan benda berbahan stainless steel.
Tetapi, waktu paruh turun menjadi enam jam, ketika kelembapan naik menjadi 80 persen—dan hanya dua menit ketika sinar matahari ditambahkan ke persamaan tersebut.
Ketika virus itu melakukan aerosolisasi—yang berarti melayang di udara—waktunya bisa satu jam di suhu 70 hingga 75 derajat dengan kelembapan 20 persen. Di bawah sinar matahari, waktunya turun menjadi hanya satu setengah menit.
Bryan menyimpulkan bahwa kondisi seperti musim panas akan menciptakan lingkungan di mana penularan dapat berkurang.
Dia menambahkan, bagaimana pun, pengurangan penyebaran virus tidak serta merta dimaknai bahwa patogen bisa begitu saja dihilangkan seluruhnya. Artinya, aturan untuk menerapkan physical distancing harus tetap diindahkan.
"Ada hal yang tidak bertanggung jawab bagi kita untuk mengatakan bahwa musim panas hanya akan membunuh virus secara total," katanya.
Penelitian sebelumnya juga sepakat bahwa virus ini memiliki kecepatan yang lebih baik dalam cuaca dingin dan kering, daripada dalam kondisi panas dan lembap, dan tingkat penyebaran yang lebih rendah di negara-negara belahan bumi selatan di mana virus itu menyebar lebih awal.
Di Australia misalnya, yang hanya memiliki kurang dari 7.000 kasus yang dikonfirmasi dan 77 kematian, jauh di bawah banyak negara belahan bumi utara.
Alasannya diperkirakan termasuk bahwa tetesan pernapasan tetap mengudara lebih lama di cuaca dingin, dan bahwa virus terdegradasi lebih cepat pada permukaan yang lebih panas, karena lapisan lemak pelindung yang menyelimutinya mengering lebih cepat.
Otoritas kesehatan AS percaya bahwa meskipun kasus COVID-19 melambat selama musim panas, tingkat infeksi cenderung meningkat lagi di musim gugur dan musim dingin, sejalan dengan virus musiman lainnya seperti flu.
Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.