Kisah dan Pengakuan Pria yang Diantar Menikah Lagi oleh Istri Pertama (Bagian 3)

Kisah dan Pengakuan Pria yang Diantar Menikah Lagi oleh Istri Pertama, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah dan Pengakuan Pria yang Diantar Menikah Lagi oleh Istri Pertama - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Hingga saat ini, poligami masih menjadi pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Bagaimana Abah menyikapinya?

Sebenarnya ini adalah dinamika kehidupan ya, sangat wajar mereka yang kontra pun sangat wajar. Terutama untuk perempuan, mereka anti untuk urusan ini. Untuk saya pribadi, meskipun dibilang ini karena nafsu dan sebagainya...

Kita bahas sedikit tentang nafsu ya, nafsu itu memang ditanamkan oleh Allah untuk kepribadian manusia, semua manusia punya nafsu. Makhluk yang tidak dikasih nafsu itu namanya malaikat, makanya enggak perlu makan.

Kalau kita enggak pakai nafsu, enggak bakal makan dan minum. Kalau enggak dikasih nafsu, enggak bakal pengin punya rumah. Nah, karena itulah, perintah Allah, yakni untuk mengendalikan nafsu, bukan menghilangkan nafsu. Tidak ada perintah Allah atau perintah agama satu pun yang menghilangkan nafsu, tapi mengendalikan nafsu.

Fitrahnya manusia itu lelaki menyukai wanita dan sebaliknya, nah ini harus disalurkan. Maka, turun perintah dalam bentuk syariat, dalam urusan fiqih dan usul fiqih, dalam berdagang atau menikah ada aturannya, selama masih mengikuti perintah Allah...

Kalau saya mengatakan pernikahan ini dilangsungkan secara terbuka, saya meminta istri saya sendiri, yang meridhoi ibu kandung saya dan mertua ikut mengantar, itu kan sesuai syariat. Selama itu dijalankan, seluruh dunia membenci, itu enggak jadi masalah, karena kita beribadah kepada Allah bukan kepada manusia.

Kalau sudah niat ibadah, jangan dengarkan manusia, karena kita mengikuti perintah Allah, bukan perintah manusia. Netizen kan manusia, entah apa pun asumsinya. Kecuali dagang, kita harus dengarkan konsumen. Kecuali bisnis, kita harus dengarkan pekerja. Tapi, kalau urusan ibadah, maka harus mengikuti apa kata Allah. Nikah itu ibadah, bukan soal nafsu-nafsuan.

Bagaimana dengan pembagian tugas untuk mengurus pesantren atau bisnis antara Umma dan Teh Rita?

Di dalam pernikahan, enggak ada jadwal pasti, saya fokus di umat, membawa umat untuk lebih mengenalkan umat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW dan mencintai shalawat. Kenapa Teh Rita ditugaskan mengurus bisnis, saya kan mengurus yayasan, dalam perjalanan ini...

Secara pribadi, saya dari kecil mencetak diri untuk cuek terhadap urusan dunia, terutama harta. Karena ketika saya mendalami agama, Rasulullah mengatakan ‘cinta terhadap dunia itu pangkal dari segala kejahatan’. Makanya, saya hindari hal itu, saya bentengi diri, saya tidak punya ATM, enggak pernah pegang duit, malah yang tahu duit saya itu sopir saya.

Dengan kecuekan saya seperti ini, ada duit masukin ke Baitul Mal, untuk saya mungkin ini bagus, tapi untuk urusan bisnis ini kan tidak bagus. Ada orang datang ke pesantren saya, saya tahu orang ini mau menipu, cuma karena hati saya judulnya mau mengurus umat, karena agama itu kan garis besarnya mengasihi semua makhluk, saya berpikir orang menipu pun harus saya kasihani.

Makanya, banyak yang datang ke saya buat menipu, akhirnya uang perusahaan banyak yang hilang, untuk itu harus ada yang mengontrol. Dicarilah orang yang bisa mengatur bisnis, bisa me-manage keuangan biar usaha jalan, agama jalan. Kalau saya mengubah diri sebagai pebisnis, lalu bagaimana saya bersyiar dan bershalawat, dan itu juga bukan kepribadian saya.

Mungkin banyak juga yang penasaran, dengan usia masih di bawah 30 tahun, tapi mempunyai nama panggilan ‘Abah’. Apakah ada alasan tertentu?

Sejarahnya, karena sebelum saya nikah, keluarga saya kan keluarga besar, panggilan Abi dan Ummi, Ayah dan Bunda itu semua sudah ada, jadi saya pengin ada perbedaan.

Karena keluarga lagi ngumpul, panggil ‘Ummi’ bisa semua nengok kan. Jadi, saya sudah persiapkan sebelum nikah, saya pengin manggil istri dengan Umma, tapi buat saya belum. Waktu itu mau disandingkan dengan Abati, tapi saya pikirkan lagi Umma dengan Abati enggak cocok, maka sama ‘Abah’ saja.

Yang kedua, wasiat pesantren itu sudah 100 tahun karena berdiri 1912, saya berpikir dengan kondisi pesantren yang setua ini, seolah saya sedang (naik) mobil bus meskipun saya berbadan kecil tapi kan saya harus bersikap seperti segede badan bus, jadi panggilan abah sebagai reminder, sebagai pribadi.

Saya lahir di Ciamis, kalau di sana Abah itu kakek-kakek, kalau kiai atau ustaz kan pangkat, itu berat karena harus berilmu dan sebagainya. Kalau Abah itu bebas, enggak ada pangkat, memang saya pengin mindset seperti orang tua.

Related

News 5237126975020569475

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item