BPJS Kesehatan: Iuran Naik, tapi Fasilitas dan Layanan Tak Bertambah Baik
https://www.naviri.org/2020/02/bpjs-kesehatan-iuran-naik.html
Naviri Magazine - Sehat itu mahal, sepertinya benar meski kini sudah eranya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dua bulan sudah tarif anyar BPJS Kesehatan diberlakukan, ribuan orang merespons dengan skema turun kelas.
Pekan lalu, Wiwi (57) menelepon nomor kontak 1500400. Ia menekan tombol bantuan di angka dua dan berbicara dengan operator. Setelah membacakan nomor kepesertaan BPJS Kesehatan miliknya, Wiwi meminta perubahan data peserta.
“Saya mau pindah kelas, turun ke kelas tiga.”
“Status kepesertaan ibu dari kelas dua ke kelas tiga sudah diubah, dan akan berlaku di bulan berikutnya,” demikian operator memproses laporan Wiwi.
Ia terpaksa memangkas plafon JKN, lantaran anaknya berat membayar tarif iuran baru. Wiwi dan suaminya sudah tidak bekerja, segala kebutuhan mereka ditanggung oleh sang sulung. Sementara si sulung masih membiayai satu adiknya yang sebentar lagi lulus sekolah menengah atas.
“Awalnya bayar bertiga cuma Rp150-an ribu. Kemarin (Januari) bayar Rp330 ribu, berasa banget, gaji enggak naik tapi bebannya nambah,” ungkap Tyas, (26) anak sulung Wiwi.
Setiap bulan, Tyas membayar tagihan milik orangtua dan sang adik, sementara iuran BPJS miliknya sudah ditanggung perusahaan tempatnya bekerja. Selain BPJS, ia masih memiliki beban finansial lain, seperti membayar uang sekolah sang adik, dan kebutuhan harian keluarga. Kenaikan iuran kesehatan ini sungguh sangat berdampak.
Keluarga Wiwi bukan satu-satunya peserta JKN yang memutuskan turun kelas sejak pemberlakuan Peraturan presiden Nomor 75 Tahun 2019. Ratu Fikri Rizki (27) seorang karyawati swasta di daerah Serang, Banten, juga mengambil keputusan sama.
Ia hendak mengganti data kepesertaan, dari semula berada di kelas satu menjadi kelas tiga. Sayang, persyaratan ini hanya berlaku bagi peserta BPJS yang sudah memiliki masa anggota satu tahun. Sementara masa anggota miliknya baru mencapai sepuluh bulan.
“Maret nanti sudah rencana turun ke kelas tiga. Ya ampun, duit gue Rp160 ribu sebulan buat BPJS doang,” keluhnya.
Fikri sempat pernah ingin menutup akun BPJS miliknya, dan beralih ke asuransi swasta. Sebab menurutnya BPJS memiliki banyak kekurangan dalam perlindungan kesehatan, dibanding asuransi swasta. Namun niatnya tak bisa terealisasi, sebab BPJS berlaku seumur hidup.
Jalan paling meringankan baginya hanya dengan menurunkan standar kelas. Tapi BPJS memiliki minimum masa keanggotaan sebagai syarat, perubahan kelas juga harus diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kemudian, perubahan pada bulan berjalan akan berlaku pada bulan selanjutnya, dan permohonan harus diajukan sendiri oleh peserta.
Aktivasi perubahan bisa dilakukan melalui aplikasi JKN, nomor layanan 1500400, kantor cabang terdekat, mal pelayanan publik, atau mobile costumer service (MCS). Rincian perubahan biaya yang telah disahkan meliputi Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan untuk Kelas I, lalu Kelas II dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan, dan Kelas III dari Rp25 ribu menjadi Rp42 ribu per bulan.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 34 Peraturan presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kenaikan iuran BPJS hingga 100 persen sudah dimulai sejak 1 Januari 2020 kemarin, dan berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
“Saya tak punya rentang kendali untuk memaksa,” demikian Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, merespons kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam rapat bersama komisi IX DPR, Senin (20/1/2020).
Ia mengaku ikut kecewa dan sedih atas keputusan ini. Namun, Terawan tak dapat mengubah keadaan, lantaran wewenang penyesuaian tarif berada di BPJS Kesehatan, yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Padahal, pada rapat akhir tahun 2019 antara Kemenkes dan DPR, memutuskan tak mengerek tarif JKN. Solusi saat itu ditawarkan untuk mengambil subsidi kelas dari surplus iuran di kelas lain. Namun iuran BPJS Kesehatan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III tetap naik.
“Data yang kami pegang dari teman-teman BPJS hingga kini sudah ada sekitar 800 ribu orang yang turun,” ungkap anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, beberapa waktu lalu.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Annas Ma'aruf, menyatakan angka tersebut merupakan pergerakan peserta yang turun ke kelas tiga. Di sisi lain, terdapat pula peserta BPJS Kesehatan yang justru melakukan kenaikan kelas, meski jumlahnya tidak sampai lima ribu orang.
"Jadi secara faktual jumlahnya terus bergerak, tapi tidak semua turun karena menyesuaikan kemampuan ekonomi juga," katanya.
Tapi, menurut Daulay, kanaikan iuran tidak sebanding dengan fasilitas BPJS Kesehatan untuk peserta—yang tak mengalami perbaikan. Problem klasiknya terkait diskriminasi dan keterbatasan akses obat. Banyak pasien BPJS melaporkan perlakuan kasar yang mereka terima dari tenaga kesehatan. Perlakuan berbeda mereka dapatkan jika memakai pembayaran mandiri atau asuransi mandiri.
BPJS juga tidak menanggung semua obat yang dibutuhkan pasien. Tak bisa dipungkiri bahwa BPJS telah membantu banyak pasien. Tapi jaminan kesehatan ini masih punya banyak celah yang harus diperbaiki, apalagi dengan kenaikan iuran yang gila-gilaan.
“Ya kami (Komisi IX DPR) sudah memanggil kepala daerah dan perwakilan rumah sakit. Penjelasannya, fasilitas tidak berbanding lurus dengan kualitas layanan,” pungkas Daulay.