Kisah Para Algojo Hukuman Mati di Abad Pertengahan (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/12/kisah-para-algojo-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Para Algojo Hukuman Mati di Abad Pertengahan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Bak sebuah teka-teki, algojo dianggap sebagai orang yang penting untuk menegakkan hukum dan keadilan, tapi sekaligus dijauhi karena profesinya yang dipandang buruk.
“Sikap terhadap algojo sangat ambigu. Mereka dianggap penting sekaligus tidak, pada waktu yang sama,” ujar Hannele Klemettilä-McHale, profesor sejarah budaya dari Turku University di Finlandia, yang mempelajari representasi para algojo.
Sebagai contoh, di beberapa daerah misalnya, seorang algojo diberi tiga kali pukulan dalam mengeksekusi penjahat. Jika ayunan kapak atau pedang mereka melebihi dari aturan yang telah ditentukan, maka ada konsekuensi serius.
“Kadang-kadang algojo yang gagal, diserang oleh para penonton yang marah. Dan jika dia selamat, pihak berwenang menghukumnya dengan tidak dibayar atau dipecat, bahkan dipenjara," papar Klemettilä-McHale.
Oleh sebab itu, dibutuhkan ketelitian dan pengetahuan khusus agar eksekusi berjalan sempurna, dan ini menandakan bahwa seorang algojo mungkin memiliki pemahaman yang baik tentang anatomi tubuh manusia.
Hal ini bertentangan dengan stigma orang-orang yang menganggap algojo adalah orang-orang yang tidak berpendidikan. Sebaliknya, menurut Harrington, mereka justru memiliki tingkat melek huruf yang luar biasa tinggi. Bahkan, beberapa algojo telah merangkap sebagai dokter.
"Orang-orang yang tidak ingin ada hubungannya dengan algojo, secara sosial akan datang ke rumahnya dan meminta untuk disembuhkan," kata Harrington. “Kita tahu, misalnya, bahwa Schmidt memiliki lebih banyak pasien yang dia sembuhkan daripada orang yang dieksekusi. Faktanya, Schmidt menulis bahwa menjadi dokter akan menjadi karier pilihannya, seandainya dia tidak dipaksa menjalani eksekusi.”
Selain ada yang merangkap jadi dokter, algojo juga mendapatkan beberapa fasilitas yang menjanjikan. Mereka mendapat keuntungan dan hak istimewa yang disebut “havage”. Misalnya, algojo berhak mengambil sebagian makanan dan minuman dari pedagang pasar secara gratis.
“Terlebih lagi, pihak berwenang biasanya memberi algojo penginapan gratis, dan membebaskannya dari pajak dan pembayaran,” papar Harrington. Tunjangan ini diberikan sebagai kompensasi atas diskriminasi sosial yang mereka terima, dan upaya agar mereka tidak meninggalkan pekerjaan.
Jelas, algojo di masa lalu bukan sekadar profesi dengan keringat yang berlumuran darah. Sebaliknya, buku-buku sejarah mencatat, mereka tak lain dari orang-orang biasa yang dipaksa untuk menjalani profesi yang tak diinginkan orang lain.
“Lupakan gambar tudung itu dan menganggap mereka sebagai sosok aneh yang sadis. Mereka hanyalah petugas penegak hukum,” tegas Harrington.
Begitu pun dengan akhir kisah Schmidt yang cukup memercik suka cita. Selama kariernya, ia mendapatkan hormat yang tidak biasa karena profesionalismenya yang terkenal disiplin, yang mengarahkannya pada penunjukan sebagai algojo resmi Kota Bamberg, Bavaria, Jerman.
Hal ini membuat Schmidt mendapatkan gaji besar, dan memungkinkannya menjalani kehidupan yang sangat nyaman bersama keluarganya di sebuah rumah besar.
Namun, stigma terhadap pekerjaannya memang hampir mustahil dihilangkan. Ia tak ingin "warisan terkutuk" ini diberikan kepada anak-anaknya. Maka, setelah pensiun dari profesi algojo pada usia 70 tahun, Schmidt mencoba memulihkan nama keluarganya. Dia mengimbau pemerintah Bavaria untuk membebaskan putra-putra Schmidt dari "dinasti eksekusi", dan permintaannya dikabulkan.
Anak-anak Schmidt pun kemudian dibebaskan kewajiban karier menjadi algojo, dan diberi hak untuk mengejar karier mereka sendiri, seperti yang selalu ingin dilakukan Schmidt tatkala masih muda.