Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 8)
https://www.naviri.org/2019/11/sejarah-serangan-umum-page-8.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya - Bagian 7). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
"... kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan ‘pemerintah’ kita diserahkan pada Syafruddin Prawiranegara dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis.
“Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah RI telah ‘hilang’ semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus ‘Jalan Keluar’ dari ‘kemiskinan’, jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."
Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945 menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut.
Memang, ketika Belanda melancarkan agresi militer tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam kata sambutannya, sebagai: "...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini...".
Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI, hanya ditambahkan transkrip rekaman wawancara HB IX dengan BBC pada tahun 1986, serta sejumlah kesaksian, terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang memperkuat semua kesaksian.
Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari berbagai media massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya.
Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah Sarjana Hukum, tentu mengetahui bahwa dari segi hukum, pengakuan seseorang - ataupun tidak mengakui suatu tindakan - bukanlah suatu alat bukti yang kuat.
Yang berhubungan langsung dengan latar belakang serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu pemrakarsa adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, mantan Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang waktu itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.
Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa Playen, tempat pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun):
"... yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud (Budiarjo-pen.)... dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."
Memang, suatu novum, yaitu "...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud." Namun, para pakar sejarah tersebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang dapat mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak tercatat di dokumen mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel Simatupang.
Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX, dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata.
Selain itu, Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen.
Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta. Dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang menulis:
“Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa.
“Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan ‘SO’ atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran.
“Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan ‘SO’ ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan menyebarkan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…”
Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan foto copy surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman.
Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara Hamengku Buwono IX, baik dengan Simatupang maupun dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, Bambang Sugeng.
Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta.
Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan pada awal Februari 1949 adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan.
Baca lanjutannya: Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 9)