Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 7)
https://www.naviri.org/2019/11/sejarah-serangan-umum-page-7.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya - Bagian 6). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Marsudi, yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, Kolonel Bambang Sugeng.
Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949 - di mana disusun "Grand Design" Serangan Umum tersebut - juga memimpin rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari dari lereng Gunung Sumbing menuju Brosot, untuk menyampaikan "Grand Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel Wiyono dari PEPOLIT, dan termasuk kepada Letkol Suharto.
Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sangat jelas peran Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, Kolonel Bambang Sugeng.
Kemudian, sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada hirarki yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah.
Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, karena mereka tidak mengetahui bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk menerjang hirarki.
Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman.
Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat persembunyian Panglima Besar.
Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di mana dikutip:
"Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya...
“HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu....
“Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa ‘pendudukan Yogya’ oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup."
Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat bahwa hal-hal yang diungkapkan di atas tidak mungkin dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando memberikan perintah langsung kepada seorang komandan pasukan untuk melaksanakan suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan atasan komandan pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan yang tidak di bawah komando yang bersangkutan.
Bahkan juga angkatan lain, selain Angkatan Darat, dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki pemancar radio. Dari otobiografi almarhum Marsekal Madya TNI (Purn.) Budiarjo, mantan Menteri Penerangan, dan buku Simatupang yang terbit pertama kali tahun 1960, jelas menunjukkan ikut sertanya Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang dalam perencanaan dan persiapan.
Selain itu masih ada dokumen tertanggal 18 Februari 1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada komandan Daerah I (Wehrkreis I) untuk mengadakan serangan atas "Iboekota Yogyakarta" antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Pemberi perintah adalah Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, Kolonel Bambang Sugeng.
Tampaknya, menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut dihentikan, seperti dituliskan: “... Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa ‘pendudukan Yogya’ oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.”
Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota Yogyakarta hanya berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan tentara Belanda dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film yang dibuat tahun lima puluhan mengenai serangan tersebut, berjudul "6 jam di Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga jalan ceritanya cukup otentik.
Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan sore hari.
Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel Suharto, yang hanya Komandan Brigade, dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya.
Juga suatu hal yang tidak mungkin bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan tanpa membahas terlebih dulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.
Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan. Walaupun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat kesimpulan bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup".
Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebut sebagai putra dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan: “... kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.”
TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah pemrakarsa dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949.
Hal tersebut memberi kesan bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana dapat membayar "pakar sejarah" untuk menulis sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian, sejarawan seperti ini tidak berbeda dengan "tukang jahit”.
“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak diubah titik-komanya):
Baca lanjutannya: Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 8)