Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 6)
https://www.naviri.org/2019/11/sejarah-serangan-umum-page-6.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya - Bagian 5). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan pasukan lain.
Untuk melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar Angkatan Darat.
Dengan demikian, apabila disebutkan bahwa perintah serangan diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando militer adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.
Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri.
Di beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana disebutkan bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.
Hanya yang mengherankan adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel Suharto, untuk melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.
Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil Suharto untuk menghadap:
“... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal ...
“Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.”
Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan tersebut selanjutnya berbunyi:
“... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu.
“Itulah satu-satunya pertemuan HB IX - Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret. Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.”
Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam otobiografinya menyebutkan bahwa: “... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...”
Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk membantah versi Suharto tersebut, termasuk orang-orang yang di masa Suharto berkuasa, terlibat dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam pembuatan film "Janur Kuning".
Di era yang diharapkan dimulainya reformasi, termasuk pelurusan penulisan sejarah, muncul pengultusan baru yang masih memakai pola yang telah diterapkan oleh Suharto dan merekayasa legenda baru.
Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan kepada kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB IX.
Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengultuskan dirinya.
Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap Yogyakarta tersebut menjadi tindakan yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan di PBB di Lake Success (tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis).
Brigjen. (Purn.) Marsudi, seperti dikutip berbagai media, menyebutkan bahwa Hamengku Buwono IX yang memberikan perintah kepada Suharto.
"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C Marsoedi menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki ibukota RI Yogyakarta; pada Siang hari, datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.”
Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise III Pada Masa Perang Kemerdekaan II 1948-1949, di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta, Marsoedi mengemukakan, tidak benar bila ide itu berasal dari Soeharto, yang saat itu menjadi Komandan Wehrkreise III berpangkat Overstee (Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.
Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX. "Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan Soeharto," katanya.
Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH H Prabuningrat, saudara Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap, karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek.
"Tunggu perintah lebih lanjut," kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu itu.
Ia mengungkapkan, “sebelum bertemu Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan kemudian dijawab oleh Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis."
Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9-16 November 1998):
"Gubernur Militer Bambang Sugeng itu 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang".
Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak terasa." Marsudi, yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan hirarki militer.
Baca lanjutannya: Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 7)