Ternyata Vampir Benar-benar Ada di Dunia Nyata (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/07/vampir-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ternyata Vampir Benar-benar Ada di Dunia Nyata - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
"Berbagai pertemuan ini terjadi pada tahun 2000-an, dan mereka bahkan tidak menonton serial True Blood!" katanya, tak percaya. "Pengetahuan mereka tentang literatur dan film vampir sama awamnya seperti orang biasa."
Vampirisme datang dengan berbagai warna. Komunitas peminum darah ini bekerja sebagai pelayan bar, sekretaris dan perawat; beberapa adalah penganut agama yang taat, lainnya ateis; dan seringnya mereka sangat altruistik. "Vampir tak selalu jalan-jalan di kuburan, mendatangi klab malam goth, atau berpesta minum darah," kata seorang vampir bernama "Merticus".
"Ada organisasi vampir yang rutin memberi makan warga tunawisma, sukarela di kelompok penyelamat hewan, dan memperhatikan isu-isu sosial."
Meski sebagian vampir mencari energi psikis yang memberi kekuatan, kelompok lainnya (yang dikenal dengan "med sangs" atau medical sanguinarian atau sanguin medis) percaya bahwa tubuh mereka membutuhkan darah.
"Mereka yang menyebut diri mereka 'vampir' sangat berbeda dengan kami," kata seorang med sang yang disebut "CJ!" (tanda serunya memang bagian dari alias online yang dia gunakan).
"Tetapi, saat kami minum darah – terutama darah manusia – label vampir sulit untuk dilepaskan.”
Vitalitas baru
Saat menanyakan pada subjek penelitiannya, kapan mereka tertarik pada darah, Browning menemukan rasa lapar ini mulai muncul sekitar pubertas.
Salah satu orang pertama yang diwawancara Browning, merasakan ketertarikan pada darah pada usia 13 atau 14 tahun, saat dia merasa selalu lemah, dan tak punya energi untuk lari atau berolahraga seperti teman-temannya.
Suatu saat, dia berkelahi dengan sepupunya, berdarah, dan mulutnya tak sengaja mengenai darah.
"Tiba-tiba dia merasa hidup kembali," kata Browning. Rasa itu kemudian membuatnya menjadi lapar.
Kisah ini mirip dengan sebagian besar vampir yang dia temui. Selain kelelahan berlebihan, gejala lainnya adalah sakit kepala dan kram perut.
CJ! contohnya, mengalami gangguan pencernaan yang hanya bisa disembuhkan setelah minum darah. "Setelah mengonsumsi darah dengan jumlah yang cukup (antara tujuh gelas shot sampai satu gelas besar), sistem pencernaan saya bekerja dengan baik."
Teman CJ!, "Kinesia", juga merasakan hal yang sama. "Selama seminggu, saat lapar, perut saya tak bisa mencerna, dan merasa pusing jika saya makan apa pun selain 'makanan obat'," katanya.
Kinesia menggambarkan rasa puasnya setelah minum darah, "Saya langsung merasa 100% lebih baik; pikiran saya langsung tajam. Saya bisa makan apa saja tanpa harus bolak-balik ke kamar mandi, dan tak ada rasa sakit di otot atau persendian. Rasa ini bertahan dua minggu, tergantung seberapa banyak darah yang saya minum dan seberapa sering saya meminumnya."
Tentu saja, donor susah dicari. Bagaimana Anda bisa minta izin pada seseorang untuk minum darah mereka? Menurut CJ!, para donor biasanya adalah teman-teman dekat yang mengerti kebutuhan mereka; Kinesia minum darah suaminya sendiri setiap dua minggu sekali.
Dalam beberapa kasus, para vampir ini harus membayar, kata Browning. Apa pun hubungan antara donor-vampir, kedua pihak sepakat. "Yang terpenting adalah memperhatikan donor – memastikan mereka rileks dan bersedia 'diminum' setiap saat," kata Kinesia.
Seperti dirasakan oleh Browning, proses penyedotan darah lebih terasa seperti prosedur medis ketimbang menenggaknya secara rakus.
Biasanya, baik donor maupun vampir akan dites kesehatannya di klinik kesehatan seksual (atau pusat donor darah) untuk memastikan bebas dari infeksi yang menular.
Untuk mengambil darahnya, para vampir menggunakan pisau bedah atau suntikan sekali pakai, yang dibuka di depan donor untuk memastikan kebersihannya – dan mereka akan mengusap kulit dengan alkohol pada potongan pertama.
Jika mereka langsung minum darah dari luka yang terbuka, para vampir ini sebelumnya akan membersihkan bibir, menyikat gigi dan berkumur dengan obat kumur.
Mereka memiliki pengetahuan medis yang lebih canggih: alat-alat CJ! termasuk torniket dan selang infus. Sebelum mengambil darah, dia memberi replika tikus karet untuk diremas oleh si donor, yang memudahkannya untuk mencari pembuluh darah.
Jika mampu, para vampir ini bisa membekukan darah yang berlebihan yang kemudian mereka campur dengan obat anti penggumpalan, dan disimpan di kontainer yang kedap udara.
Jika tidak, kata Browning, para vampir akan mencampur darah dengan ramuan teh dan rempah yang bisa mempertahankan darah lebih lama.
"Komunitas sang sangat berhati-hati dan sadar akan kesehatan dan keamanan," kata "Alexia" di Inggris, yang meneliti soal phlebotomy atau pengambilan darah sebelum menggunakan infus. Proses makan itu sendiri, katanya, "tak istimewa, seperti minum pil."
Setelah mengonsumsinya, para vampir ini tidak merasakan efek samping; meski mengonsumsi zat besi dalam jumlah banyak bisa meracuni, namun jumlah zat besi yang diserap tubuh dalam proses makan ini tak membahayakan.
"Saya belum bertemu vampir yang mengeluhkan komplikasi medis setelah dia minum darah," kata Browning. Meski begitu, Tomas Ganz dari University of California Los Angeles mengatakan bahwa para vampir ini tak bisa mengesampingkan risiko infeksi.
"Melakukan tes di klinik kesehatan seksual tidak menutup spektrum luas penyakit menular seksual, tapi memang mencakup penyakit yang lebih umum seperti HIV atau hepatitis B dan C," katanya.
Cara terbaik untuk mengukur bahayanya adalah dengan mempelajari catatan medis resmi. Sayangnya, kebanyakan vampir terlalu takut akan stigma untuk memberitahu pada dokter atau pekerja sosial tentang kebiasaan mereka.
"Ada satu orang yang mengatakan jika seorang dokter tahu saya vampir, mereka akan mengambil anak-anak saya," kata William, yang sudah meneliti kemungkinan efek stigma terhadap asuransi kesehatan para vampir.
Beberapa orang, seperti CJ!, menjadi lebih terbuka; dia sudah membahas kebiasaan minum darahnya dengan ahli bedah usus, dan seorang psikiater. "Keduanya mendukung, meski sayangnya tak ada yang bisa menawarkan solusi atas masalah kesehatan yang saya alami," katanya.
Baca lanjutannya: Ternyata Vampir Benar-benar Ada di Dunia Nyata (Bagian 3)