Memahami Hak Wanita Terkait Akad Nikah Dalam Ajaran Islam
https://www.naviri.org/2019/07/memahami-hak-wanita-terkait-akad-nikah.html
Naviri Magazine - Agama Islam merupakan agama yang sangat meninggikan posisi perempuan. Sejarah mencatat bahwa sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hadir menyampaikan syariat Islam, masyarakat jahiliyah di Mekkah sangat tidak adil dalam memperlakukan perempuan. Kaum hawa tidak mendapatkan hak bersuara dalam hal apa pun, tidak mendapatkan hak waris, tidak bisa menuntut nafkah yang layak, dan lainnya.
Setelah Nabi Muhammad datang, mulailah perempuan mendapatkan tempat di masyarakat. Islam membuat mereka bisa mendapatkan hak waris, bisa menuntut nafkah yang layak bagi dirinya, dan bisa menyampaikan hak bersuara, khususnya dalam bab nikah.
Di sisi yang lain, Islam juga tidak sampai kebablasan dalam memberikan kebebasan bagi perempuan, seperti perlakuan yang berbeda bagi perawan dan janda dalam bab nikah.
Dikutip dari Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz II, hal. 429-430, disebutkan bahwa:
“Diperbolehkan bagi ayah atau kakek menikahkan anak perawan tanpa kerelaannya, baik kanak-kanak maupun dewasa sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh, bahwa Nabi bersabda: ‘Janda berhak atas dirinya ketimbang walinya, dan ayah seorang perawan boleh memerintah untuk dirinya’.
“Hadits ini menunjukkan bahwa wali lebih berhak atas diri seorang perawan. Jika si perawan tersebut sudah dewasa, maka disunnahkan untuk meminta izin padanya, dan izinnya berupa diam, sebagaimana hadits riwayat ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: ‘Janda lebih berhak bagi dirinya ketimbang walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya, dengan cara diam’.”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa ketika seorang perempuan statusnya adalah janda, maka dia harus bersuara untuk dirinya sendiri dalam akad nikah. Ia harus menyampaikan pendapatnya apakah dia bersedia menikah dengan seseorang yang dicalonkan bagi dirinya ataupun tidak. Dalam hal ini, suaranya yang paling menentukan kelangsungan akad nikah. Ia diposisikan sebagai pihak yang bisa menentukan nasibnya sendiri.
Berbeda halnya dengan perawan. Wali bisa memaksanya untuk menikah dengan lelaki yang baik baginya selama tidak ada bahaya.
Meski tindakan wali semacam itu adalah makruh alias tidak dianjurkan. Ketika mudarat timbul akibat paksaan tersebut, hukumnya bisa berubah menjadi haram. Tetap disunnahkan untuk menanyakan pendapat si anak perawan tentang rencana pernikahannya, dan jika dia diam, maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
Alasan diamnya perawan dianggap sebagai persetujuan, bisa kita simak pada kelanjutan penuturan Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi:
“Karena dia (perawan) malu menunjukkan kata izin pada ayahnya, maka dijadikanlah diamnya sebagai bentuk persetujuan.
Perlu diingat bahwa tidak semua wali berhak memaksa, hanya ayah atau kakeknya saja. Jika seorang perawan tidak lagi memiliki ayah atau kakek, dan walinya adalah selain mereka berdua atau wali hakim, maka wali yang bukan ayah atau kakek ini tidak bisa memaksa si perawan tersebut. Hal ini dinyatakan dalam kelanjutan penuturan Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi:
“Tidak boleh bagi selain ayah atau kakek menikahkan perawan, hingga dia dewasa dan memberikan pernyataan izinnya.”
Semoga pemaparan di atas bisa memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan perlakuan bagi perawan dan janda dalam akad nikah. Wallahu a’lam bi shawab.