Hukum Rambut Rontok Saat Masih Junub, Haid, atau Hadast
https://www.naviri.org/2019/07/hukum-rambut-rontok-saat-masih-junub.html
Naviri Magazine - Umat Islam diwajibkan bersuci dari hadats besar dan hadats kecil, sesuai dengan sebab-sebab yang ditentukan di kitab-kitab fikih.
Hadats besar mewajibkan seseorang untuk bersuci sebelum beribadah dengan mandi, membasuh air secara merata ke seluruh bagian luar tubuh, termasuk rambut, kuku, dan lipatan-lipatan tubuh. Artinya, air harus sampai mengena ke kulit dan bagian-bagian luar tubuh tersebut tanpa satu pun penghalang.
Sementara hadats kecil menuntut seseorang untuk membasuh bagian-bagian tubuh tertentu dalam bersuci seperti wajah, tangan, sebagian kulit kepala, kaki, atau berwudhu. Kesucian dibutuhkan sebagai syarat keabsahan ibadah, termasuk syarat kesucian bagi jenazah sebelum disembahyangkan.
Hukum mandi menurut syar‘i terbagi dua, wajib dan sunah. Sunah bila mandi itu diniatkan untuk menghadiri sembahyang Jum‘at, istisqa, sembahyang gerhana, usai memandikan jenazah, wukuf, thawaf, atau masuk kota Mekkah. Sementara mandi wajib diperuntukkan bagi mereka yang dalam keadaan junub karena keluar mani, sebab jimak atau lainnya, usai haid, atau nifas.
Baik mandi wajib atau sunah, seseorang harus niat mandi wajib atau mandi sunahnya di awal basuhan. Persoalan niat ini sebuah kewajiban. Berikutnya, meratakan tubuh dengan air. Segala permukaan dan lipatan di tubuh mesti secara rata terbasuh air, baik berbentuk bulu, kuku, maupun kulit.
Adapun sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh, apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi, dalam kitab Raudlatut Thalibin, mengatakan sebagai berikut.
“Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya, kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.'
“Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih. Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas).
Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, karena diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).
Adapun perataan air menjadi sebuah kewajiban. Karenanya, sehelai rambut yang terlewat dapat membatalkan basuhan. Hanya saja, madzhab Hanafi mengatakan bahwa basuhan tetap sah kendati sehelai rambut terlewat, seperti disebutkan Imam Nawawi dalam Al-Majemuk berikut ini.
“Kesembilan, andai seseorang meninggalkan sehelai rambut kepalanya yang belum tersentuh air, maka tidak sah basuhannya. Sementara riwayat dari Imam Abu Hanifah menyebutkan, basuhan semacam itu tetap sah,” (Lihat Imam Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darut Taufiqiyah, tanpa tahun, juz 2, halaman 194).
Dengan mengikuti pendapat satunya, seseorang yang junub tidak perlu khawatir untuk menyisir rambut karena takut rontok, memotong kuku, atau membersihkan bulu lainnya. Ia pun tidak perlu mengumpulkan rambut rontok dan potongan kukunya untuk dimandikan wajib bersama.
Hanya saja, sebaiknya seseorang menyisir atau memotong rambut, dan menggunting kuku, setelah mandi wajib.