Marosok, Cara Orang Minang Tawar Menawar Harga Sapi Lewat Sarung
https://www.naviri.org/2019/06/marosok-cara-orang-minang-tawar-menawar.html
Naviri Magazine - Sebuah pemandangan tak lazim akan Anda jumpai saat menyinggahi perkampungan di beberapa daerah di Minang, saat hari pakan atau hari pasar.
Hari ketika pasar lebih ramai dari biasanya, atau hari ketika pasar dibuka, saat orang-orang masuk di pasar ternak, tempat sapi diperdagangkan. Biasanya, ada sekitar seratus pemilik ternak dengan jumlah hewan antara 150 hingga 200 ekor diperdagangkan di sana.
Jika terbiasa dengan hiruk pikuk pedagang yang menawarkan harga dengan suara lantang, maka kesampingkan hal itu saat berada di areal tersebut. Sebab transaksi yang terjadi antara pedagang dan pembeli dilakukan tanpa suara, mengandalkan isyarat tangan yang ditutup oleh sarung, handuk, baju, ataupun topi, tanpa mengeluarkan suara. Hanya anggukan atau gelengan yang terlihat.
Jangan berspekulasi bahwa pedagang maupun pembeli penyandang bisu atau tuli, mereka normal. Namun, inilah tradisi yang turun temurun diberlakukan, meski zaman sudah mengenal telepon genggam. Tradisi ini dinamakan Marosok, sistem jual beli ternak sapi dengan menggunakan isyarat tangan.
Kegiatan Marosok berlangsung antara penjual dan pembeli, seperti orang bersalam-salaman namun tangan mereka ditutup. Umumnya, sarung digunakan sebagai penutup tangan mereka, meski beberapa ada yang memakai peci ataupun baju. Hal terpenting, transaksi yang menggunakan jari jemari mereka tidak terlihat oleh pembeli ataupun pedagang yang berseliweran di sana.
Kegiatan ini memang bertujuan supaya harga ternak yang dibeli pembeli tidak diketahui oleh banyak orang. Persoalan harga menjadi rahasia antara pembeli dan penjual saja. Salah satu daerah yang masih menjaga cara berdagang sapi seperti ini bisa ditemui di pasar ternak Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Tontonan menarik ketika melihat tawar menawar yang berlangsung, saat penjual dan pembeli saling menggenggam, memegang jari, menggoyang ke kiri dan ke kanan. Jika transaksi berhasil, setiap tangan saling melepaskan. Sebaliknya, jika harga belum cocok, tangan tetap menggenggam erat tangan yang lain, seraya menawarkan harga baru yang bisa disepakati.
Dalam Marosok, setiap jari melambangkan angka puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan rupiah. Semisal, pedagang ingin menjual ternaknya seharga Rp 5,5 juta, maka dia akan memegang telunjuk pembeli yang melambangkan sepuluh juta rupiah.
Setelah itu, lima jari yang lain digenggam dan digoyang ke kiri. Ini berarti Rp 10 juta dikurangi Rp 5 juta. Sedangkan untuk menunjukkan Rp 500 ribu, lima jari yang digoyang tadi digenggam lagi dan dihentakkan. Bila disepakati, transaksi berakhir dengan harga Rp 5,5 juta.
Jika pembeli ingin menawar seharga Rp 5,2 juta, maka dia cukup menggenggam dua jari dan menggoyangnya ke kiri. Kalau ingin tambah Rp 50 ribu lagi, pemilik ternak akan memegang satu ruas jempol si pembeli sambil mematahkannya ke bawah, maka harga ternak itu menjadi Rp 5,25 juta.
Untuk membeli sapi, berat sapi tak ditentukan dengan timbangan. Di pasar ternak ini, semua timbangan tak memiliki fungsi. Harga sapi hanya berdasarkan pengamatan, persoalan berat sapi dikesampingkan. Jika cocok, transaksi terjadi.
Tujuan Marosok adalah agar orang lain tak melihat proses transaksi tersebut. Dengan begitu, harga ternak hanya diketahui antara penjual dan pembeli. Setidaknya, ini cara untuk 'menghargai' pedagang dan pembeli lain.
Tak ada yang tahu persis kapan Marosok muncul, namun sejumlah pedagang ternak meyakini tradisi ini sudah dimulai sejak zaman raja-raja di Minangkabau, dan diterima secara turun temurun.