Kisah Nabi Muhammad (5): Penentangan Kaum Quraisy Mekah
https://www.naviri.org/2019/06/kisah-nabi-muhammad-part-5.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Nabi Muhammad 4: Menjadi Nabi dan Memulai Dakwah). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi SAW bermunculan. Namun, tanpa kenal lelah, Nabi Muhammad SAW terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah.
Meskipun sebagian mereka adalah orang-orang lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.
Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lama, di samping juga khawatir jika struktur masyarakat dan kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi Muhammad SAW yang menekankan pada keadilan sosial dan persamaan derajat.
Mereka menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad SAW, dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua: Memerintahkan Muhammad SAW agar berhenti berdakwah, atau menyerahkannya kepada mereka.
Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, dan ia meminta agar Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad SAW menolak permintaannya, dan berkata, "Demi Allah, saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya."
Mendengar jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, "Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu."
Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah menemui Abi Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad SAW. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Walid bin Mugirah berkata, "Ambillah dia menjadi anakmu, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh, karena dia telah menentang dan memecah belah kita."
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, "Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima."
Kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi Nabi Muhammad SAW secara langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi'ah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi SAW. Mereka menawarkan takhta, wanita, dan harta, yang mereka kira diinginkan oleh Nabi SAW, asal bersedia menghentikan dakwahnya.
Namun semua tawaran itu ditolak oleh Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan, "Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya."
Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah masuk Islam, mereka siksa dengan sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum.
Salah seorang budak, bernama Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas, dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.
Setiap suku juga diminta menghukum anggota keluarganya yang masuk Islam, sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan, misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri.
Secara keseluruhan, sejak itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka'bah, dan lain sebagainya.
Kekejaman terhadap kaum Muslimin mendorong Nabi Muhammad SAW untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi SAW menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia sekarang) sebagai tempat pengungsian, karena raja negeri itu seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu. Nabi SAW merasa pasti rombongannya akan diterima dengan tangan terbuka.
Rombongan pertama terdiri dari 10 pria dan 5 wanita. Di antara rombongan tersebut adalah Usman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah (putri Rasulullah SAW), Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan, jumlah rombongan ini lebih dari 80 orang.
Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habasyah itu, termasuk membujuk raja negeri tersebut agar menolak kehadiran umat Islam di sana. Namun berbagai usaha itu pun gagal. Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah orang yang memeluk Islam.
Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman tersebut, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua orang yang dijuluki "Singa Arab" itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad SAW pada waktu itu.
Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad SAW terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka pun berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan segala macam hubungan dengan suku ini.
Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tandatangani bersama, dan mereka gantungkan di Ka'bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan.
Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian Muhammad SAW dan berlangsung selama 3 tahun itu merupakan tindakan yang paling menyiksa.
Pemboikotan itu akhirnya berhenti, karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian, Bani Hasyim akhirnya dapat kembali pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi Thalib, paman Nabi SAW yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan Tahun Kesedihan ('Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad SAW.
Terlebih sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi SAW. Hingga kemudian Nabi SAW berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta'if. Namun reaksi yang diterima Nabi SAW dari Bani Saqif (penduduk Ta'if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi SAW diejek, disoraki, dilempari batu, sampai ia luka-luka di bagian kepala dan badannya.
Baca lanjutannya: Kisah Nabi Muhammad (6): Isra Mi’raj dan Hijrah ke Madinah