Abu Nawas, Penyair Arab Terkenal yang Paling Kontroversial
https://www.naviri.org/2019/05/abu-nawas-penyair-arab-terkenal.html
Naviri Magazine - Seorang penyair muda berpenampilan nyentrik itu memang layak dikenang. Rambutnya ikal, panjang bergelombang, terurai hingga ke bahu. Karena penampilannya, ia dijuluki Abu Nawas (si rambut ikal panjang).
Nama aslinya adalah al-Hasan ibn Hani al-Hakami. Ia tumbuh dari keluarga kelas bawah, namun karya-karyanya mewakili kelompok penyair papan atas di zamannya.
Dia seorang penyair yang jenius, kritis, liar, slengekan, menjengkelkan (bagi sebagian orang), tetapi juga religius. Dikatakan jenius, karena dalam sejarah kepenyairan Arab, dirinya adalah tonggak baru yang memisahkan puisi sebelum dan sesudahnya.
''Ia memasukkan unsur-unsur modern dalam karya-karyanya. Dia membangun imajinasi kehidupan kota, seperti anggur, jalanan, gedung-gedung, wanita, dan anak laki-laki, ke dalam puisi. Para penyair sebelumnya lebih senang mengambil objek desa. Dia yang pertama menulis puisi modern,'' kata Adonis, sastrawan Arab modern, mengomentari karya-karya Abu Nawas.
Ketika masih belia, puisi-puisi Abu Nawas banyak bertutur tentang khamar (tuak atau minuman keras). Salah satunya adalah puisi khumrayat (penggambaran tentang minuman keras). Ia menggambarkan kelezatan dan keburukan khamar, cara memerasnya, mengolahnya, hingga warna, aroma kelezatan rasa, dan kehidupan para peminumnya. Menurutnya, khamar dapat menenangkan hatinya yang gundah.
Dr Muhammad al-Nuwaihi, dalam kitab Nafsiyyat Abi Nuwas, menyebutkan Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras. Tingkah lakunya sungguh aneh. Maka, banyak orang yang mengatakan puisi-puisinya merupakan refleksi dari tingkah lakunya.
Tampaknya, Abu Nawas muda mewakili sisi lain dari kehidupan di zamannya. Tingkah lakunya yang berseberangan dengan ajaran agama, menunjukkan ada kehidupan sosial lain yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah.
Zaman kegemilangan Islam era Dinasti Abbasiyah, yang dikenal maju dalam ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama, juga diwarnai dengan kehidupan gelap. Di sini, Abu Nawas secara jujur dan apa adanya mengungkapkan sisi gelap itu.
Apakah puisi-puisi Abu Nawas muda menyesatkan? Bagi sebagian orang mungkin ya, tetapi bagi sebagian yang lain ternyata tidak. Adonis, contohnya. Penyair asal Suriah yang bernama asli Ali Ahmad Said ini mengungkapkan tidak ada puisi Arab yang menyesatkan.
''Berkali-kali membaca puisi Arab, saya tidak melihat ada kesesatan. Sebaliknya, puisi memberi kebenaran mendalam. Ada keharmonisan hubungan antara kata-kata dan benda, antara manusia dan alam. Puisi membuka cakrawala manusia tanpa batas,'' katanya.
''Penyair harus punya sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Untuk menulis puisi, manusia harus hidup di dalam puisi. Ungkapan seorang penyair amat berbeda dengan cara pemikir, filsuf, alim ulama, atau ahli agama. Saat melihat jendela, seorang pemikir berkata jendela ini persegi panjang. Tapi, penyair bisa bilang jendela adalah perempuan yang membentangkan kedua tangannya,'' tambahnya.
Adonis juga mengutarakan bahwa senjata penyair adalah kebebasan. Orang yang tidak dapat lepas dari kungkungan eksternal ataupun internal, tidak akan mungkin menjadi penyair. Selama orang segan menyatakan apa yang ada dalam dirinya, ia tidak akan dapat berpuisi. Ia mencontohkan, seksualitas yang mungkin tidak bisa diutarakan oleh orang yang taat beragama, karena hal itu baginya tabu untuk diungkapkan.
Abu Nawas tidak segan-segan mempuisikan apa yang ia lakukan dan rasakan. Karena itu, tudingan-tudingan seperti penyair zindik atau pendosa besar sering dialamatkan kepadanya. Apa yang dikatakan oleh Adonis bahwa senjata seorang penyair adalah kebebasan, menjadikan Abu Nawas tampak melampaui batas kesopanan.
Hilangnya aroma tuak
Tak pernah ada kata terlambat untuk bertobat. Itulah salah satu pelajaran penting yang diajarkan Abu Nawas. Masa mudanya memang diwarnai gaya hidup penuh maksiat. Namun, di masa tuanya, sang penyair berubah menjadi seorang sufi.
Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat puisi-puisinya yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas mengisi kehidupannya dengan ibadah.
Apa gerangan yang membuat Abu Nawas bertobat? Ada yang berpendapat karena dia dijebloskan ke dalam penjara oleh Khalifah al-Ma'mun, setelah menikmati masa kejayaan bersama Khalifah Harun al-Rashid dan Khalifah al-Amin. Al-Ma'mun tidak bisa memberikan toleransi pada karya-karya Abu Nawas yang vulgar dan mengumbar kesenangan.
Sejak ia dipenjarakan, puisi-puisinya berubah menjadi religius. Kenakalan dan aroma kendi tuak dalam puisinya yang khas meluntur, seiring dengan kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Puisi-puisi tuaknya digantikan dengan puisi pertobatan kepada Yang Mahakuasa.
Pada masa ini, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri atas beberapa tema. Ada yang bertema pujian (madah), satire (hija’), zuhud (zuhdiyat), bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), serta kejenakaan (mujuniyah). Syair-syair religiusnya dikenal dan dibaca seantero jagad Islam. Dari masjid-masjid dan surau-surau di Nusantara.
Salah satu syair zuhdiyat Abu Nawas yang terus berkumandang: Ilahi, lastu lilfirdausi ahla. Wala aqwa ‘ala naril jahimi Fahab li tawbatan waghfir dzunubi. Fainnaka ghafirud Zanbil azimi.
(Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga. Namun, hamba juga tidak kuat akan panas api neraka. Maka, berilah hamba ampunan atas dosa-dosa hamba. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Agung)
Puisi pertobatan itu diakhiri dengan kata-kata, “Jika Engkau mengampuni dosa-dosaku, sungguh Engkau adalah Zat Yang Maha pengampun. Tetapi, jika Engkau menolaknya, lantas kepada siapa aku harus mengadu.”