Kontroversi Al Ghazali dan Pengaruhnya di Dunia (Bagian 3)
https://www.naviri.org/2019/04/kontroversi-al-ghazali-part-3.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kontroversi Al Ghazali dan Pengaruhnya di Dunia - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Karya-karya Al Ghazali pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara. Sultan Marakash, Ali bin Yusuf bin Tashfin, pemimpin daerah tersebut, adalah orang yang berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah agama, menerima saran dari ulama ortodoks yang memiliki otoritas pada masa itu.
Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki, dan menganggap bahwa filsafat dan teologi dapat merusak keyakinan atau akidah yang benar. Oleh karena itu, ia melarang beredarnya buku-buku Al Ghazali dan mengeluarkan perintah agar membakar seluruh karya Al Ghazali.
Di antara pengkritik lainnya adalah Ibnu Rusyd, seorang filsuf Spanyol. Ia menganggap Al Ghazali tidak konsisten dalam doktrin emanasi. Ia juga mengkritik karya-karya Al Ghazali, khususnya kitab Tahafut al-Falasifah, dengan mengarang kitab Tahafut al-Tahafut.
Dia menganggap bahwa ajaran Al Ghazali kadang-kadang merusak syariah, terkadang merusak filsafat, terkadang merusak keduanya. Namun juga menguntungkan keduanya. Dan masih banyak pengkritik lain yang memberikan perhatian khusus pada ajaran-ajaran Al Ghazali.
Pada prinsipnya, Al Ghazali tidak antipati terhadap filsafat. Sebab menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al Ghazali termasuk pendukung sekularisasi ilmu. Hanya saja, menurutnya tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afat al-‘adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Sebagaimana madzhab Dzahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan Thabi’iyyun yang tidak mempercayai keberadaan dunia lain, begitu juga ajaran Illahiyyun yang ditransfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat mapun siksaan, yang mendapatkan balasan di akhirat kelak hanyalah ruh. Mereka juga berpendapat bahwa alam bersifat qadim dan abadi.
Kritikan yang tajam inilah yang tampaknya memberi kontribusi tersendiri dalam kemunduran kajian dan pemikiran filsafat dunia Islam, khususnya di bagian Timur (ketika itu masuk dalam kekuasaan dinasti Abbassiyah). Sementara di bagian Barat dunia Islam (wilayah dinasti Umayyah), pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan Al Ghazali.
Beberapa tokoh filsuf kemudian bangkit melakukan kritikan balik kepada Al Ghazali. Salah satu di antarannya adalah Ibn Rusyd. Ia mengarang buku Tahafut al-Tahafut (Hancurnya Kehancuran) sebagai jawaban terhadap berbagai kritik yang dilontarkan Al Ghazali.
Di antara tiga kritikan paling krusial dari Al Ghazali terhadap kaum filsuf, Ibnu Rusyd memberi jawaban sebagai berikut:
Ketika tuhan menciptakan alam, bukan dari suatu ketiadaan tetapi ketika itu telah ada sesuatu di samping-Nya, berupa materi dasar sebagai bahan penciptaan sebagaimana ditunjukkan oleh surat Hud ayat 7 dan al-Anbiya ayat 30.
Materi asal itu pun bukan berasal dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh Tuhan. Disamping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur’an juga menggambarkan penciptaan bukan dari tiada tetapi dari ada (misalnya surat al-Mukminun ayat 12 tentang penciptaan manusia).
Menurutnya, tiada tidak bisa berubah menjadi ada, tetapi yang tepat adalah ada menjadi ada dalam bentuk lain. Sementara tentang keazalian alam yang dimaksud para filsuf, merujuk pada pengertian sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus mulai dari zaman tak bermula dengan bahan dasar yang telah ada di sisi Tuhan sampai zaman tak berakhir (surat Ibrahim ayat 47-48).
Mengenai pernyataan Al Ghazali bahwa filsuf berpendapat Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd membantah bahwa tidak ada filsuf Islam yang mengatakan demikian. Sebenarnya, yang dibahas para filsuf adalah tentang bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu.
Terkait tuduhan bahwa filsuf menentang ajaran kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd mengatakan bahwa filsuf muslim tidak menyebutkan hal itu. Ibn Rusyd kemudian balik mengkritik inkonsistensi pemikiran Al Ghazali.
Sebab, dalam Tahafut al-Falasifah, ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya kebangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia mengatakan di kalangan sufi muncul pandangan bahwa yang ada nanti ialah kebangkitan rohani. Dari sini Ibn Rusyd menilai bahwa Al Ghazali juga tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan para filsuf.
Tidak lama sesudah zaman Ibn Rusyd, umat Islam di Barat mengalami kemunduran besar di bidang pemikiran rasional dan ilmiah, seiring runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol. Sementara umat Islam di Timur, pemikiran keagamaan lebih dikuasai oleh teologi tradisional Asy’ariyyah dan tasawuf yang kurang memberi keleluasaan bagi pengembangan pemikiran rasional.
Walaupun Al Ghazali dan pemikirannya kontroversial dan berbeda dengan pendapat para ulama lain, dan hasil karyanya juga sering dikritik, tetapi ia tetap dihormati. Karena dalam Islam, beda pendapat dan pikiran sesama muslim dipandang sebagai kewajaran, beda pendapat tidak bisa diapresiasikan sebagai permusuhan. Karena hal ini menyangkut masalah ahlak Islamiah (etika dalam Islam) dan etika intelektual muslim, yakni perbedaan pendapat dan persepsi.