Kontroversi Al Ghazali dan Pengaruhnya di Dunia (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/04/kontroversi-al-ghazali-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kontroversi Al Ghazali dan Pengaruhnya di Dunia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Kebanyakan orang mengenal pemikiran Al Ghazali hanya dalam bidang teologi, fiqih, maupun sufisme. Padahal dia ilmuwan yang hebat dalam bidang ilmu biologi maupun kedokteran.
Dia telah menyumbangkan pemikiran dan jasa yang besar dalam bidang kedokteran modern, dengan menemukan sinoatrial node (nodus sinuatrial), yaitu jaringan alat pacu jantung yang terletak di atrium kanan jantung, dan juga generator ritme sinus. Bentuknya berupa sekelompok sel yang terdapat pada dinding atrium kanan, di dekat pintu masuk vena kava superior.
Penemuan sinoatrial node oleh Al Ghazali terlihat dalam karya-karyanya; Al-Munqidh min Al-Dhalal, Ihya Ulum Al Din, dan Kimia Al-Sa'adat. Bahkan penemuan sinoatrial node oleh Al Ghazali jauh sebelum penemuan yang dilakukan ahli anatomi dan antropologi Skotlandia, A. Keith, dan ahli fisiologi Inggris, MW Flack pada 1907. Sinoartrial node ini, oleh Al Ghazali, disebut sebagai titik hati.
Dalam menjelaskan hati sebagai pusat pengetahuan intuisi dengan segala rahasianya, Al Ghazali selalu merumuskan hati sebagai mata batin, atau disebut juga inner eye dalam karyanya, Al-Munqidh min Al-Dhalal yang diterjemahkn oleh C. Field menjadi Confession of Al Ghazali.
Dia juga menyebut mata batin sebagai insting, yang disebutnya sebagai cahaya Tuhan, mata hati, maupun anak-anak hati. Kalau titik hati Al Ghazali dibandingkan dengan sinoartrial node, akan terlihat bahwa titik hati mempunyai hubungan erat dengan sinoartrial node.
Dia menyebutkan bahwa titik hati tersebut tidak dapat dilihat dengan alat-alat sensoris, sebab titik tersebut mikroskopis. Para ahli kedokteran modern juga menyatakan sinoartrial node bersifat mikroskopis.
Al Ghazali menyebutkan titik hati tersebut secara simbolis sebagai cahaya seketika yang membagi-bagikan cahaya Tuhan dan elektrik. Menurut gagasan modern, dalam satu detik, sebuah impuls elektrik yang berasal dari sinoartrial node mengalir ke bawah lewat dua atria, dalam sebuah gelombang setinggi 1/10 milivolt, sehingga otot-otot atrial dapat melakukan kontraksi.
Pada era modern, para ahli anatomi menyatakan pembentukan tindakan secara potensial berasal dari hati, yaitu kontraksi jantung yang merupakan gerakan spontan yang terjadi secara independen dalam suatu sistem syaraf. Dia juga menyatakan bahwa hati merdeka dari pengaruh otak, dalam karyanya, Al-Munqidh min Al-Dhalal.
Para pemikir modern banyak yang mengatakan, suatu tindakan kadang terjadi melalui mekanisme yang tak seorang pun tahu mengenainya. Namun Al Ghazali mengatakan, tindakan yang terjadi melalui mekanisme yang tak diketahui tersebut sebenarnya disebabkan oleh sinoartrial node. Dia juga menyatakan, penguasa misterius tubuh yang sebenarnya adalah titik hati tersebut, bukan otak.
Al Ghazali tidak hanya menggambarkan dimensi fisik sinoartrial node, tetapi juga menggambarkan dimensi metafisik sinoartrial node. Hal ini jauh berbeda dengan pandangan para pemikir sekuler yang hanya mampu menggambarkan sinoartrial node secara fisik semata.
Secara metafisik, Al Ghazali menggambarkan sinoartrial node sebagai pusat pengetahuan intuitif atau inspirasi ketuhanan yang bisa berfungsi sebagi peralatan untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada hamba. Namun, orang yang bisa memfungsikan sinoartrial node hanya orang yang telah mencapai penyucian diri, atau orang yang sangat beriman kepada Allah SWT.
Dalam literatur Barat, Al Ghazali ditempatkan sejajar dengan St. Agustinus, filsuf Kristen yang mengarang buku The City of God. Bahkan orientalis H.A.R. Gibb, selain menempatkan Al Ghazali sejajar dengan St. Agustinus, juga menyetarakan kedudukannya dengan Martin Luther, pembaharu agama Kristen.
Di Eropa Barat, Al Ghazali mendapat perhatian besar, tak sedikit orang Barat yang memberikan penghargaan kepadanya. Filsuf Prancis, Renan, pujangga Cassanova, Carra de Vaux, adalah orang-orang yang kagum terhadap Al Ghazali.
Masuknya pengaruh filsafat Al Ghazali di benua Eropa tidak bisa dipisahkan dari adanya pengaruh filsafat Ibn Rusyd yang lebih dulu masuk Eropa. Pada abad pertengahan, Eropa dikuasai gereja. Gereja, yang mengatasnamakan “wakil Tuhan”, bertindak tidak manusiawi dan mengekang rasio.
Keadaan semacam ini membuat para ilmuwan Eropa menolak dominasi gereja. Alat yang dipakai para ilmuwan saat itu adalah filsafat Ibn Rusyd. Begitu hebat pengaruh Ibn Rusyd, sampai-sampai di Eropa ada kelompok Averoesme. Ketika gejolak perkembangan Averoesme menjalar di Eropa pada abad pertengahan, gereja menggunakan Tahafut al-Falasifah sebagai pembendungnya.
Alexander Hales, seorang pendeta ternama, adalah orang yang paling masyhur dalam membelokkan Averoesme kepada filsafat Al Ghazali.
Ketidakgentaran Al Ghazali dalam mencari kebenaran melalui kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf banyak pula mendatangkan kritik dan pertentangan di kalangan mutakallimin, baik ketika Al Ghazali masih hidup maupun setelah meninggal.
Di Andalusia, seorang qadhi dari Cordoba, Abu Abdullah Muhammad bin Hamdin, menyalahkan karangan-karangan Al Ghazali. Para qadhi di Spanyol pada umumnya menerima pengutukan itu, dan hasilnya seluruh karya Al Ghazali dibakar. Masyarakat dilarang memiliki karya-karya Al Ghazali dengan ancaman sanksi hukuman mati. Termasuk di dalamnya kitab Ihya.
Baca lanjutannya: Kontroversi Al Ghazali dan Pengaruhnya di Dunia (Bagian 3)