Flu Spanyol, Wabah Mematikan di Akhir Perang Dunia (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/04/flu-spanyol-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Flu Spanyol, Wabah Mematikan di Akhir Perang Dunia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Penyebaran di Eropa
Parit-parit yang penuh sesak dan perkemahan massal selama Perang Dunia Pertama menjadi tempat yang sangat ideal untuk penyebaran penyakit ini. Ketika pasukan bergerak, virus flu ini ikut bersama mereka.
Gelombang pertama yang muncul di Kansas mereda setelah beberapa minggu, tetapi hanya peredupan sementara waktu. Pada September 1918, epidemi berikutnya mulai memasuki fase paling mematikan.
Terhitung 13 minggu dari September sampai Desember 1918 merupakan saat yang paling banyak ditemukan kasus kematian karena penyakit ini. Setidaknya 195.000 orang Amerika meninggal hanya dalam bulan Oktober. Di dalamnya termasuk jumlah total korban militer Amerika karena penyakit ini selama Perang Dunia I yang mencapai lebih dari 116.000 orang, hal itu terjadi di perkemahan militer yang padat selama gelombang kedua penyakit tersebut.
Pada September, 6.674 kasus dilaporkan di Camp Devens, sebuah pangkalan militer di Massachusetts.
Ketika krisis mencapai puncak, pelayanan medis mulai kewalahan. Para mortisi dan penggali kubur mulai mengeluh tidak mungkin menguburkan mereka satu per satu. Banyaknya kematian membuat jasad-jasad itu berakhir di kuburan massal.
Penyakit itu terus menyebar hingga pergantian tahun. Hingga Januari 1919, epidemi virus itu memasuki fase ketiga yang juga merupakan fase terakhir. Pada saat itu, kekuatan penyakit mulai menurun hingga musim gugur dan musim dingin, dan kematian tercatat lebih sedikit dibanding fase-fase sebelumnya.
Gelombang akhir flu Spanyol
Gelombang terakhir flu Spanyol jauh lebih ringan dibanding gelombang sebelumnya, namun gelombang penyakit itu terbukti masih cukup kuat untuk menimbulkan kerusakan yang besar. Australia, yang dengan sigap langsung memberlakukan larangan bagi orang yang terinfeksi untuk berada di tempat umum dan segera mengkarantina mereka, cenderung berhasil lolos dari flu mematikan tersebut.
Ketika penyakit itu akhirnya tiba dan mengambil nyawa beberapa ribu orang Australia, sifat destruktifnya memiliki kecenderungan yang bersifat umum. Bagaimanapun korban di sana kebanyakan menyasar kaum bawah yang saat itu cenderung terabaikan.
Ada beberapa kasus kematian yang tercatat akibat influenza, namun mungkin itu disebabkan oleh strain influenza yang berbeda hingga akhir tahun 1920. Pada musim panas tahun 1919, kebijakan perawatan kesehatan yang baru dan juga karena mutasi genetik alami dari virus itu sendiri, akhirnya membawa epidemi tersebut ke tahap terakhir.
Meski begitu, dampak bagi mereka yang ditinggalkan oleh korban maupun yang menderita komplikasi kesehatan jangka panjang, tetap berlangsung hingga dekade terakhir abad itu.
Pandemik membuat hampir tidak ada bagian dunia yang tidak tersentuh. Di Inggris, 228.000 orang meninggal dunia. Amerika Serikat kehilangan hampir 675.000 orang, Jepang menderita 400.000 orang yang menjadi korban. Pulau Pasifik selatan, Samoa Barat (Samoa modern) kehilangan seperlima populasinya.
Para peneliti memperkirakan bahwa di India, korban jiwa berjumlah antara 12 hingga 17 juta orang. Data yang tepat tentang jumlah pasti kematian sulit diidentifikasi, tetapi angka kematian global diperkirakan 10 sampai 20 persen dari mereka yang sudah terinfeksi.
Korban flu Spanyol
Pada 1997, sampel yang diambil oleh Johan Hultin dari jasad wanita yang ditemukan di kuburan massal dalam Misi Brevig turut menambah pengetahuan para ilmuwan tentang bagaimana virus flu tersebut bermutasi dan menyebar.
Selain itu, obat-obatan baru dan peningkatan kebersihan diri maupun masyarakat turut membantu komunitas internasional dalam posisi yang jauh lebih baik untuk menghadapi tantangan baru di masa depan.
Namun, para ilmuwan tahu serta selalu mengantisipasi, bahwa mutasi yang mematikan dapat terjadi kapan saja, serta dampaknya pada dunia yang semakin padat serta saling berhubungan akan sangat merusak apabila terjadi pandemik di masa depan.