Flu Spanyol, Wabah Mematikan di Akhir Perang Dunia (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2019/04/flu-spanyol-paprt-1.html
Naviri Magazine - Seratus tahun yang lalu, sebuah virus influenza yang mematikan menginfeksi sepertiga penduduk dunia, membunuh 195.000 penduduk Amerika selama Oktober 1918. Flu itu dikenal dengan nama Flu Spanyol (Spanish Influenza), karena media Spanyol yang pertama kali memberitakan flu itu secara besar-besaran.
Seorang ilmuwan, Johan Hultin, melakukan perjalanan ke Brevig, Alaska, sebuah kota yang hanya berisi beberapa ratus jiwa di musim panas 1997. Kedatangannya ke sana untuk mencari mayat-mayat yang terkubur di tanah beku Alaska.
Dia menggali di tanah permafrost dan menemukan seorang wanita yang meninggal hampir 80 tahun yang lalu, dan berada dalam kondisi pelestarian yang sangat baik. Hultin kemudian mengambil sampel paru-paru wanita itu sebelum menginterpretasinya.
Dia bermaksud menggunakan penemuannya untuk memecahkan kode urut genetik virus yang telah membunuh wanita Inuit ini bersama dengan 90 persen populasi di kota itu.
Misi Brevig hanyalah satu di antara tragedi global terburuk yang pernah menimpa umat manusia, pandemi influenza 1918-1919. Virus influenza yang juga dikenal sebagai flu Spanyol ini menyebar dengan kecepatan yang menakjubkan di seluruh dunia, melanda India, dan mencapai Australia, hingga pulau-pulau terpencil di Pasifik.
Hanya dalam 18 bulan, setidaknya sepertiga penduduk dunia terinfeksi. Perkiraan jumlah pasti kematian bervariasi, mulai dari 20 juta hingga 50 juta, bahkan ada yang mengatakan 100 juta kematian telah terjadi.
Awal mula penyebaran virus
Ada beberapa virus yang berhubungan erat dengan influenza, tetapi terdapat satu strain (tipe A) yang terkait erat dengan epidemi mematikan tersebut. Pandemi 1918-1919 disebabkan oleh virus influenza A yang dikenal sebagai H1N1. Meskipun dikenal sebagai flu Spanyol, kasus pertama yang tercatat terjadi di Amerika Serikat pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia I.
Pada Maret 1918, Amerika Serikat telah berperang dengan Jerman dan Blok Sentral selama 11 bulan. Selama waktu itu, pasukan Amerika yang awalnya hanya berjumlah kecil sebelum perang, tumbuh menjadi kekuatan tempur besar yang nantinya akan mengirim lebih dari dua juta pasukan ke Eropa.
Saat itu barak militer Amerika mendapatkan massa dalam jumlah yang sangat banyak, sesaat setelah warga dimobilisasi untuk ikut berperang, salah satunya adalah Fort Riley di Kansas. Fasilitas untuk pelatihan tentara baru, Camp Funston, dibangun untuk menampung sekitar 50.000 orang yang akan dilantik menjadi Angkatan Darat.
Di sinilah, pada 4 Maret, seorang tentara yang merasakan demam melapor ke ruang kesehatan. Hanya dalam beberapa jam, lebih dari seratus tentara lainnya mengeluh dengan kondisi yang sama, dan lebih banyak lagi yang sakit selama beberapa minggu berikutnya. Pada bulan April, pasukan Amerika tiba di Eropa dan membawa virus itu bersama mereka. Gelombang pertama pandemik telah dimulai.
Kecepatan membunuh flu Spanyol
Flu Spanyol membunuh korbannya dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di Amerika Serikat, banyak orang yang bangun di pagi hari, dan tewas dalam perjalanan ke tempat kerja mereka.
Gejala-gejalanya cukup mengerikan. Penderita akan mengalami demam dan kehabisan napas, dan kekurangan oksigen menyebabkan wajah mereka tampak membiru. Pendarahan mengisi paru-paru, dan menyebabkan muntah serta mimisan yang hebat.
Tidak seperti jenis influenza biasa sebelumnya, flu Spanyol menyerang tidak hanya anak-anak kecil dan juga orang tua yang sudah renta, tetapi juga orang dewasa yang tampak sehat dan kuat, antara usia 20 hingga 40 tahun.
Faktor utama penyebaran virus dengan cepat dan luas tentu saja karena konflik internasional yang sedang ada dalam fase terakhirnya. Para ahli epidemik masih memperdebatkan asal muasal virus itu, tetapi ada beberapa konsensus yang merupakan hasil mutasi genetik yang mungkin berasal dari China.
Tetapi yang jelas adalah strain baru itu menjadi masalah global, berkat pergerakan pasukan besar-besaran dan cepat, yang saat itu sedang terjadi di seluruh dunia.
Bagaimanapun, perang juga berpartisipasi dalam pengaburan tingkat mortalitas virus tersebut, yang bisa dikatakan luar biasa tinggi. Pada tahap awal, penyakit itu tidak dipahami dengan baik, dan kematian seringkali dikaitkan dengan gejala pneumonia.
Sensor ketat dalam masa perang juga membuat pers yang berada di Eropa dan Amerika Utara tidak dapat melaporkan wabah itu secara bebas. Hanya di Spanyol, yang saat itu netral, yang dapat memberitakan penyakit itu dengan bebas, sehingga nama penyakit itu diambil dari pemberitaan media Spanyol.
Baca lanjutannya: Flu Spanyol, Wabah Mematikan di Akhir Perang Dunia (Bagian 2)