Ini 4 Tingkatan Takdir yang Perlu Dipahami Setiap Muslim
https://www.naviri.org/2019/02/tingkatan-takdir.html
Naviri Magazine - Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara, yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, dia harus merealisasikan semua rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain.
Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.
Tingkatan pertama: al-’Ilmu (Ilmu)
Yaitu beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi, serta di antara keduanya.
Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rezeki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.
Allah Ta’ala telah berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)
Tingkatan kedua: al-Kitaabah (Penulisan)
Yaitu mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya, berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh.
Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)
“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))
Dalam sabdanya yang lain: “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus kutulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat.’” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu).
Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.
Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
Yaitu bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah.
Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya, karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya, yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)
Kehendak Allah pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindari. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya hati manusia seluruhnya di antara dua jari, dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.” (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para imam salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah, dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya.
“Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugerah yang Allah berikan kepadanya, dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya, dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)
Tingkatan keempat: al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)
Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya.
Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan kebaikan dan keburukan.
Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan tersebut.
Hal ini berdasarkan firman-Nya, “Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Baca juga: Subhanallah, Seperti Inilah Gambaran Neraka yang Mengerikan di Akhirat