Pussy Riot, Kelompok Punk-Aktivis yang Kontroversial di Rusia
https://www.naviri.org/2019/02/pussy-riot.html
Naviri Magazine - Pussy Riot adalah kelompok protes, punk, dan feminis Rusia, yang berdiri pada 2011. Tidak ada acuan yang dapat menyebutkan secara pasti berapa jumlah anggota Pussy Riot. Tapi, ada tiga sosok yang kerap dianggap sentral dalam kolektif ini, yaitu Nadezhda Tolokonnikova, Maria Alyokhina, dan Yekaterina Samutsevich.
Sejak pertama kali berdiri, mereka konsisten menyuarakan perlawanan terhadap rezim Putin—yang didukung kekuatan Gereja Ortodoks. Bagi Pussy Riot, Putin begitu “tidak manusiawi, ingin berkuasa mutlak, dan gemar membungkam kebebasan warga negaranya.”
Kerja-kerja aktivisme Pussy Riot diterjemahkan lewat serangkaian penampilan di ruang publik. Dengan mengenakan balaklava berwarna mencolok, mereka menyanyikan lagu-lagu protes dengan energi yang meletup, seolah mengajak para pendengarnya mengepalkan tangan dan meneriakkan revolusi. Yang perlu dicatat, meski menggunakan musik punk sebagai medium protes, Pussy Riot sama sekali menolak disebut “band”.
Pada Januari 2012, Pussy Riot bikin geger dengan menduduki Katedral Basil di Lapangan Merah, dan menyanyikan lagu berjudul “Putin Zassel” ("Putin Ngompol”) yang intinya meminta Putin mundur dari jabatannya. Penampilan tersebut terinspirasi dari demonstrasi besar-besaran warga Rusia pada 2011, yang menentang kecurangan dalam pemilu oleh Putin dan kroni-kroninya.
Sebulan kemudian, Pussy Riot lagi-lagi cari perkara. Kali ini lebih fenomenal: memainkan lagu berjudul “Punk Prayer” di altar suci Katedral Kristus dan Juru Selamat di Moskow. Alyokhina memilih gereja sebagai lokasi protes, karena faktor kelompok Kristen Ortodoks Rusia menjadi alat politik Putin.
Kendati hanya berlangsung dalam hitungan menit, pertunjukan di gereja rupanya berbuntut panjang. Mereka ditahan aparat dan dituding mempromosikan tindakan “hooliganisme yang didorong oleh kebencian terhadap agama”, dan dihadapkan pada sejumlah tuntutan hukum yang keras.
Tolokonnikova dan Alyokhina dijatuhi dua tahun penjara, sementara Samutsevich lolos dari jerat hukum, karena pengadilan tidak menemukan keterlibatannya lebih jauh dalam aksi tersebut.
Baca juga: Kisah Zeljko Ranogajec, Penjudi Terhebat Sepanjang Masa