Misteri Lukisan Gua Berusia Ribuan Tahun di Sulawesi (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2019/02/misteri-lukisan-gua-part-1.html
Naviri Magazine - Gugusan punggung pegunungan cadas (karst) di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, berderet seperti sebuah permainan puzzle. Letaknya beraturan, membentuk ceruk, lembah, dan tebing yang curam. Di sana terdapat ratusan gua yang penuh dengan lukisan cap tangan, lukisan manusia, tinggalan tembikar, alat-alat batu, kerang-kerang laut, hingga tulang-tulang hewan.
Jumlah gua yang memiliki tinggalan arkeologi di karst Maros dan Pangkep mencapai ratusan. Gua-gua itu seperti gua pada umumnya. Ada mulut, ada dinding, ada langit-langit.
Ragam gua pun bervariasi. Ada yang memiliki kedalaman ratusan meter, ada pula yang menjulang vertikal. Namun gua-gua ini memiliki daya pikat tersendiri. Ia menjadi gudang ilmu pengetahuan untuk menentukan perjalanan panjang manusia di Sulawesi dan Nusantara.
Muhammad Nur, peneliti prasejarah Universitas Hasanuddin Makassar, mendampingi sekitar 15 mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin melakukan ekskavasi di kompleks gua prasejarah Bellae, yang berada di Kecamatan Minasa Te’ne, Pangkep. Setelah melakukan ekskavasi, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk.
Muhammad Nur terkesima dengan sebuah batu yang ukurannya lebih kecil dari bola kasti, tapi berbentuk oval. “Ini batu sungai. Jelas ini bukan bagian dari batu kapur seperti bahan batuan dari karst,” katanya.
Dia membolak-balikkan dan mengamatinya dengan tekun. “Ini ditemukan pada spit berapa dan kedalaman berapa?” lanjutnya.
Para mahasiswa saling berpandangan. “Di Leang Lompoa, spit 11, kedalaman 140 sentimeter,” kata Erwin, salah satu mahasiswa. Leang adalah sebutan masyarakat setempat untuk gua. Sementara spit adalah salah satu teknik dalam peggalian arkeologi yang relatif mudah, meski harus telaten dan hati-hati.
Menurut Muhammad Nur, batu sungai kemungkinan diangkut manusia di masa lalu ke gua, dan digunakan sebagai penumbuk kerang atau alat lain bagi keperluan sehari-hari.
Keesokan harinya, tiga tim ekskavasi mahasiswa itu bergegas menuju gua.
Di dinding Lompoa, saat memasuki mulutnya, pada sisi kanan terdapat beberapa jenis kerang, siput, dan batu sungai, yang menempel di tebing karst. Jika tak jeli, sisa-sisa makanan itu tak ubahnya ornamen gua.
“Ini adalah konsumsi manusia pada masa itu. Dulu kerang-kerang ini terkubur di bawah tanah. Tapi tanah gua ini masih aktif dan selalu longsor, jadinya sisa makanan ini tersingkap naik,” kata Muhammad Nur.
Manusia penghuni gua
Publikasi mengenai gua-gua itu kali pertama dilakukan naturalis dan etnolog asal Swiss, Paul dan Fritz Sarasin, tahun 1902. Tiga tahun kemudian, mereka menerbitkan hasil petualangan mereka dalam buku dua jilid Reisen in Celebes: Ausgefhrt in Den Jahren 1893-1896 Und 1902-1903.
Di buku itulah ada penyebutan manusia penghuni gua, sebagai To Ala. Orang-orang itu memiliki ciri-ciri fisik seperti orang Wedda yang tinggal di Sailon, selatan India –sekarang Srilanka. Mereka menggunakan peralatan dari logam, dan menghias dinding-dinding gua dengan lukisan cap tangan.
Namun arkeolog Australia, David Bullbeck, mengatakan Sarasin bersaudara melakukan bias yang sangat besar. Menurut dia, To Ala bukan bagian atau orang-orang yang memiliki lukisan dalam gua-gua. “Ciri-ciri orang To Ala yang digambarkan Sarasin (Paul dan Fritz) itu sama seperti orang sekarang,” kata Muhammad Nur.
Muhammad Nur juga mengutip Mattulada, sejarawan Universitas Hasanuddin. Menurut dia, ada kebiasaan masyarakat di Bugis dan Makassar untuk memberikan hukuman adat bagi orang yang melakukan kejahatan. Misalnya, tradisi dipaoppangi tana (orang harus meninggalkan kampung halaman atau diasingkan). Orang-orang dengan hukuman itulah yang kemudian menjadi penghuni gua.
“Sebutan To Ala menjadi kata bagi orang-orang yang tinggal di perkampungan dan orang yang berada dalam hutan,” lanjut Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan gua yang berada di karst Maros-Pangkep memiliki dua warna, merah dan hitam. Kesimpulan sementara beberapa peneliti, lukisan merah lebih tua dari hitam karena warna hitam di beberapa gua selalu menimpa merah. Namun usia lukisan belum dapat diketahui, sekalipun ada yang memperkirakannya pada fase Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu.
Namun, menurut Truman Simanjuntak, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslip) Arkeologi Nasional, seni cadas (rock art) atau lukisan gua bukan budaya penutur Austronesia. Budaya seni cadas berkembang di Eropa sejak 30 ribu tahun lalu, sementara di Indonesia atau Asia Tenggara berkembang pada masa awal Holosen, sekitar 10.000 sampai 130.000 tahun lalu, dan kemungkinan berasal dari Australia.
Baca juga: Misteri Lukisan Gua Berusia Ribuan Tahun di Sulawesi (Bagian 2)