Mansa Musa, Raja Muslim Afrika Terkaya Sepanjang Sejarah
https://www.naviri.org/2019/02/mansa-musa-raja-muslim-afrika-terkaya.html
Naviri Magazine - Setiap Jumat, dia mendirikan masjid baru. Setiap lewat, dia sedekahkan batangan emas. Dia bukan hanya orang terkaya di zamannya, tapi juga terkaya sepanjang sejarah. Dialah Mansa Musa.
Sejarah mencatat, Afrika bagian barat, Mesir, hingga Saudi Arabia, pernah mengalami inflasi parah pada abad ke 14. Harga-harga barang melonjak, sementara harga emas jatuh di harga paling rendah. Kondisi ini berlarut selama hampir 20 tahun. Apa sebabnya?
Penyebab krisis itu ternyata rombongan karavan Raja Mansa Musa dari Mali di Afrika Barat, yang hendak menunaikan ibadah haji. Apa hubungannya?
Begini kejadiannya. Pada 1324, Raja Mansa berangkat dari Mali menuju tanah suci Mekah. Saat itu, Mali dikenal sebagai kerajaan yang sangat kaya, karena menjadi penghasil emas terbesar dunia. Tak heran jika rombongan calon haji itu menjadi arak-arakan besar dan mewah. Rombongan itu jumlahnya tak kurang dari 60 ribu lelaki, 12 ribu di antaranya para pelayan.
Setiap pelayan sekurangnya membawa dua kilogram emas batangan, baju sutra bertahta emas, ribuan kuda, dan berkoli-koli perbekalan. Di dalam rombongan juga terdapat 100 ekor unta yang masing-masing memanggul sekurangnya 100 kilogram emas. Sehingga rombongan haji itu setidaknya membawa bekal 34 ton emas batangan.
Perjalanan yang memakan waktu hampir satu tahun itu membutuhkan perawatan dan belanja yang cukup besar. Sang Raja dikenal sangat dermawan. Di setiap tempat yang dilewati, mereka tak sungkan-sungkan membayar menggunakan emas dengan nilai yang lebih besar dari harga barang. Mungkin sekalian sedekah dan beramal.
Saat rombongan sampai di Kairo, Mesir, mereka berkemah selama tiga hari di dekat kompleks piramida. Saat itu, Raja Mali memberikan hadiah 50 ribu dinar emas kepada Sultan Mesir, Mamluk Al-Nasir Muhammad. Setiap wilayah yang dilewati rombongan menikmati hujan emas yang berlimpah. Mereka menerima rombongan dengan sajian terhebat, pelayanan nomer wahid, dan jaminan keamanan yang terbaik.
Kisah perjalanan haji Raja Mansa Musa ini bukan hikayat semata. Hampir semua sastrawan di sepanjang wilayah yang dilewati rombongan, menulis dengan akurasi yang nyaris serupa.
David Tschanz, dalam esai Lion of Mali: The Hajj of Mansa Musa edisi Mei 2012, menulis, Musa tak hanya memberikan emasnya di kota-kota yang ia singgahi, termasuk Kairo dan Madinah, tetapi juga menukarnya dengan souvenir. Ia dilaporkan juga membangun masjid setiap hari Jumat.
Meski pundi-pundi emas Musa terus dibagikan saat berhaji, sumur rezekinya tak pernah kering. Maklum, raja muslim itu menguasai tambang emas dan menguasai rute trans Sahara.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Setelah berlalunya rombongan, nilai emas langsung anjlok. Karena emas yang beredar berlimpah, yang terjadi bukan orang berburu emas, tetapi orang berebut menjual emas. Berlimpahnya uang hasil penjualan emas, membuat harga-harga barang melonjak naik. Kondisi ini tidak hanya terjadi satu atau dua tahun, namun hingga 20 tahun.
Melihat situasi itu, Raja Mali prihatin. Emas produksi Mali yang selama ini bisa dijual ke negara-negara Timur Tengah juga merosot permintaannya. Guna menggendalikan situasi, Raja Mansa Musa mengambil keputusan membeli atau meminjam (layaknya pegadaian) sebanyak mungkin emas yang pernah dia bagi-bagikan. Bahkan, sang Raja siap memberi imbalan dengan harga tinggi.
Membaca kisah tersebut, terbayang seberapa kayanya Raja Mansa Musa. Dia bukan hanya kaya pada zamannya, namun diakui sebagai orang paling kaya yang pernah ada di muka bumi, hingga hari ini.
Majalah Time mencatat, jika disesuaikan dengan inflasi saat ini, Mansa Musa mempunyai kekayaan senilai US$ 400 miliar (Rp 6.000 trilliun). Angka itu mengungguli harta keluarga Rothschild (US$ 350 miliar), John D Rockefeller (US$ 340 miliar), ataupun Henry Ford (US$ 199 miliar).
Kerajaan Mali, pada masa jayanya, terbentang dari Samudera Atlantik di barat hingga Sungai Niger di timur. Sepanjang wilayah ini dianggap sebagai penyimpanan garam dan emas terbesar di dunia. Raja Mansa Musa berkuasa selama 1312 hingga 1337.
Mengutip laporan theroot.com, selama tiga bulan tinggal di Kairo, Mesir, Musa sempat menceritakan kisahnya hingga menjadi Raja Mali kepada seorang penulis sejarah.
Ia menceritakan bahwa pendahulunya, Abubakari II, berlayar menyeberangi Atlantik dengan 2.000 kapal, plus tambahan 1.000 perahu untuk membawa perbekalan dan air. Mereka tidak pernah kembali, dan tidak ada yang tahu nasib ekspedisi tersebut.
Para peneliti modern mengetahui tentang Mansa Musa melalui tenun dari Arab, sejarah lisan, dan, mungkin yang paling penting, sejarawan abad ke-17 dari Timbuktu, Ibn al-Mukhtar. Pendiri dinasti Musa adalah Sundiata yang kemungkinan adalah kakek atau paman Musa, menurut ensiklopedia Britannica.
Musa digambarkan sebagai seorang raja saleh dan sangat dihormati di seluruh Afrika. Ia sangat antusias dalam mempelajari Alquran. Ia seorang yang tegas dan enggan bersujud pada penguasa lain. Ia hanya mau bersujud dihadapan Allah.
Sang raja akhirnya memutuskan berhaji. Perjalanan panjang melewati gurun Sahara membawanya ke Mekah, kiblat bagi umat Islam. Saat itu, perjalanan ke Mekah terasa seperti ekspedisi ke sebuah planet nun jauh.
Tapi itu menunjukkan nenek moyang Afrika ingin tahu tentang dunia luar, dan bepergian seperti penjelajah lainnya. Ini bertentangan dengan stereotip yang menyebut mereka tetap tinggal di rumah mereka di benua dan menunggu untuk 'ditemukan'.
Selama bertahun-tahun setelah kunjungan Mansa Musa, rakyat jelata di jalan-jalan di Kairo, Mekah, dan Baghdad, membicarakan tentang perjalanan haji yang megah hingga menyebabkan ekonomi Timur Tengah terguncang selama dua dekade itu.
Saat perjalanan pulang yang panjang dari Mekah pada 1325, Musa mendengar berita pasukannya telah merebut kembali Gao. Ini adalah wilayah ramai yang menjadi pusat perdagangan penting pada saat itu. Musa kemudian meminta Muslim Abu Ishaq sebagai arsitek untuk memulai program pembangunan besar-besaran. Musa mendirikan masjid dan madrasah di Timbuktu dan Gao.
Yang paling terkenal adalah pusat studi Islam kuno, Madrasah Sankore atau Universitas Sankore, yang dibangun pada masa pemerintahannya. Musa juga melakukan hubungan diplomatik dengan Maroko. Dia mengirim mahasiswa belajar ke luar negeri.
Sayang, puncak kejayaan Mali itu hanya berlangsung sekejap. Musa meninggal pada 1337, setelah 25 tahun memerintah Mali. Negeri yang dulu gemah ripah loh jinawi berubah 180 derajat. Sekarang justru masuk dalam daftar termiskin di dunia.
Sepanjang sejarah Mali, tak ada raja pengganti yang mampu menandingi kualitas Mansa Musa. Meski Musa telah meninggal 678 tahun silam, tapi legendanya sebagai 'Singa Mali' tetap dikenang.
Baca juga: Jenghis Khan, Pemimpin Pasukan Terbesar Sepanjang Sejarah