Kisah 7 Film Gagal yang Menghancurkan Karier Sutradaranya
https://www.naviri.org/2019/02/kisah-7-film-gagal.html
Naviri Magazine - Di Hollywood atau di mana pun, film adalah urusan serius yang dikerjakan dengan biaya sangat besar. Sering kali, sebuah film menghabiskan biaya hingga jutaan dolar.
Beberapa film bahkan sampai menghabiskan miliaran dolar. Biaya yang amat besar itu untuk membayar para aktor dan aktris, sutradara, penulis skenario, kru film, sewa tempat syuting, dan lain-lain, termasuk urusan promosi film.
Karenanya, ketika sebuah film dibuat, semua pihak yang memproduksi film ingin film itu menghasilkan keuntungan. Kalau bisa sebanyak mungkin. Agar mereka bisa menghasilkan film-film lain. Ketika harapan itu tidak terwujud, dan yang terjadi justru kerugian karena film tak laku, maka akan ada banyak masalah. Salah satunya adalah berhentinya karier seorang sutradara.
Di Hollywood, sutradara dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas kualitas sebuah film. Jika film tidak laku, dan dinilai buruk para oleh para kritikus, pihak sutradara yang paling menanggung akibatnya. Setidaknya, berikut ini adalah 7 sutradara yang kariernya hancur gara-gara 7 film yang jatuh di pasar.
Joel Schumacher: Batman & Robin (1997)
St. Elmo's Fire (1985), The Lost Boys (1987), hingga Flatliners (1990) membuktikan bahwa Schumacher berhasil memantapkan namanya di akhir 80an hingga awal 90an. Tapi pasca Batman & Robin yang cuma menghasilkan $238 juta di seluruh dunia dari bujet $125 juta (sekitar $250 juta kalau ditambah biaya promosi) serta dicerca oleh fans maupun kritikus, karirnya jatuh.
Sempat menemukan harapan lewat Phone Booth (2003) dan The Phantom of the Opera (2004), The Number 23 (2007), namun bagaimana pun karirnya telah hancur, dan film-filmnya sulit laku.
Martin Brest: Gigli (2003)
Film Gigli dibuat untuk memanfaatkan popularitas Ben Affleck dan Jennifer Lopez yang tengah berpacaran dan mengisi headline seluruh media, film ini juga menampilkan Al Pacino. Hasilnya hancur lebur. Cuma menghasilkan tidak sampai 10% dari bujetnya, yang mencapai $75 juta, plus dianggap sebagai salah satu film terburuk sepanjang masa.
Gigli turut meremukkan karir Martin Brest, yang sebelumnya sutradara kelas satu berkat judul-judul macam Scent of Woman (1992), Beverly Hills Cop (1984), dan Meet Joe Black (1998). Pasca Gigli, Brest tak pernah lagi menyutradarai film.
The Wachowskis: Jupiter Ascending (2015)
Pasca trilogi The Matrix usai, kakak-beradik transgender ini tiga kali diberi kesempatan menggarap film dengan bujet besar, sayangnya tiga kali pula mereka menciptakan kerugian.
Speed Racer (2008) jadi awal. Meski Cloud Atlas (2012) mendapat ulasan cukup positif, perolehan $130 juta gagal menutupi bujet raksasa yang mencapai $128 juta (sekitar $250 juta ditambah biaya promosi). Tiga tahun kemudian, film fiksi-ilmiah Jupiter Ascending, yang juga film termahal kedua ($176 juta), dirilis hanya untuk memperoleh pendapatan $184 juta. Tiga tahun berlalu, tak ada tanda keduanya bakal menyutradarai film lagi.
Michael Cimino: Heaven's Gate (1980)
Sebelum menyutradarai Heaven's Gate, Cimino dianggap sebagai sutradara muda berbakat, pasca memenangkan Oscar lewat The Deer Hunter (1978).
Seperti belum siap melompat ke film besar, Cimino kewalahan menangani film epik ini, yang mengalami pembengkakan bujet menjadi $44 juta dan menerima banyak pemberitaan negatif, termasuk kekerasan terhadap hewan. Akhirnya, film ini cuma membawa pulang $3,5 juta, membuat studio United Artists bangkrut, dan karir sang sutradara hancur.
John Mc Tierman: Rollerball (2002)
Die Hard (1988), Die Hard with a Vengeance (1995), Predator (1987), The Hunt for Red October (1990), hingga Last Action Hero (1993), merupakan bukti betapa Mc Tierman adalah sutradara berpengaruh di kancah film aksi Hollywood.
Ketika The 13th Warrior (1999) mengalami flop, publik masih percaya Mc Tierman bisa bangkit lewat Rollerball, yang merupakan remake film berjudul sama.
Namun sebaliknya, Rollerball cuma memperoleh $25 juta dari bujet $70 juta, dan hanya mendapat skor 3% dari para kritikus di Rotten Tomatoes. Setahun kemudian ia membuat film Basic, yang menjadi film terakhirnya.
Michael Mann: Miami Vice (2006)
Sejak ‘80an, ‘90an, sampai pertengahan 2000an, nama Michael Mann selalu konsisten sebagai sutradara papan atas Hollywood. Saat ia mengadaptasi serial televisi Miami Vice yang populer pada era ‘80an, publik pun antusias. Sayang, hasilnya mengecewakan. Baik secara kualitas maupun finansial.
Berhasil meraup $163 juta, film itu tetap merugi akibat bujet produksi yang mencapai $135 juta. Setelahnya, selama 12 tahun, Mann cuma membuat Public Enemies (2009) dan Blackhat (2015) yang juga tak begitu sukses. Padahal sebelumnya, selama lima tahun Mann bisa melahirkan 2-3 film.
Roberto Benigni: Pinocchio (2002)
Life Is Beautiful (1997) membawa Benigni meraih popularitas internasional, baik sebagai aktor maupun sutradara. Popularitas itu tak bertahan lama, karena lima tahun kemudian Benigni membuat dan memerankan Pinocchio yang memperoleh skor 0% di Rotten Tomatoes, dan memberi enam nominasi Razzie.
Setelahnya hingga sekarang, Benigni cuma menyutradarai The Tiger and the Snow (2005) yang juga tak terlampau sukses meski bukan bencana besar.
Baca juga: Film-film yang Jadi Tonggak Sejarah Perfilman Indonesia