Cara Korea Selatan Mengatasi Krisis dan Melunasi Utang
https://www.naviri.org/2019/02/cara-korea-selatan-mengatasi-krisis.html
Naviri Magazine - Pada kurun waktu 1997-1998, banyak negara khususnya di Asia yang mengalami krisis ekonomi parah. Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut terdampak krisis ekonomi itu, yang bahkan belakangan menjungkalkan Presiden Soeharto dari kursi presiden, setelah berkuasa selama 32 tahun. Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara lain, juga terkena masalah yang sama.
Meski masing-masing negara yang terdampak krisis mengalami masalah serupa, namun cara yang diambil untuk mengatasi krisis itu berbeda. Indonesia, misalnya, memilih berhubungan dengan IMF. Begitu pun beberapa negara lain. Korea Selatan juga semula meminta bantuan IMF, tapi kemudian mereka menemukan cara lain yang lebih hebat.
Korea Selatan, sebuah negeri miskin bekas jajahan Jepang, berubah menjadi salah satu Macan Asia akibat serangkaian kebijakan reformasi ekonomi yang ampuh serta investasi besar-besaran di bidang pendidikan.
Namun, semuanya berbalik tatkala krisis mata uang Baht di Thailand pada 1997 menjalar ke Seoul; memukul Won hingga jadi bancakan para spekulan untuk menarik dolar besar-besaran ($18 miliar). Tindakan para spekulan akhirnya membuat perbankan Korea Selatan kolaps dan ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan.
Pemerintah Korsel akhirnya menghampiri IMF dan meminta bantuan pinjaman dana. Kesepakatan diteken, paket bailout senilai $58 miliar pun dikucurkan pada Desember 1997.
Selesaikah masalah? Tentu saja tidak. Bukannya bangkit, perekonomian Korsel malah semakin jatuh karena IMF mewajibkan Korsel untuk meliberalisasi perdagangan dan neraca modal, mereformasi pasar tenaga kerja, sampai merestrukturisasi tata kelola BUMN sesuai formula yang selalu dirumuskan IMF setiap menangani negara yang mengalami krisis ekonomi.
Di tengah tekanan tersebut, pemerintah Korsel mengambil langkah tak terduga. Seperti dicatat BBC, pada 5 Januari 1998, pemerintah Korsel meluncurkan sebuah kampanye nasional yang mengajak tiap warganya untuk menyumbangkan emas miliknya demi membantu negara keluar dari krisis dan membayar utang.
Dalam catatan Frank Holmes berjudul “How Gold Rude to the Rescue of South Korea” yang dimuat di Forbes, saat itu diperkirakan masyarakat Korsel menyimpan emas senilai $20 miliar dalam bentuk kalung, koin, batangan, pernak-pernik, patung, medali, liontin, sampai lencana militer.
Bagi masyarakat Korsel, emas adalah satu hal yang lekat dalam kehidupan sehari-hari. Ia digunakan dalam perayaan ulang tahun, dijadikan hadiah pernikahan, dan dihadiahkan ke pegawai perusahaan saat masa pensiun tiba di depan mata. Singkatnya, emas adalah alat penjaga martabat, simbol sosial, serta investasi kekayaan yang berharga tinggi untuk masyarakat Korsel.
Gayung pun bersambut. Ajakan pemerintah direspons dengan antusias oleh masyarakat Korsel. Forbes melaporkan, hampir 3,5 juta orang—seperempat dari total jumlah penduduk saat itu—berpartisipasi secara sukarela dalam kampanye ini. Kaya, miskin, tua, muda, berbondong-bondong menyerahkan emas ke titik-titik pengumpulan yang disediakan pemerintah.
Statistik mencatat, setiap orang rata-rata memberikan 65 gram emas atau setara dengan valuasi saat itu, $640. Tak sekadar warga sipil, perusahaan dengan nama besar macam Samsung, Hyundai, hingga Daewoo, juga ikut menyumbang.
Dalam kurun waktu dua bulan, emas yang kemudian diuangkan menjadi senilai $2,2 miliar sukses dikumpulkan. Angka itu, catat Holmes, “berkontribusi besar dalam usaha Korsel membayar pinjaman utangnya” yang lunas pada Agustus 2001—lebih cepat tiga tahun dari perjanjian.
Yang lebih penting dari pelunasan utang: rakyat Korsel menunjukkan solidaritas, dukungan, serta perasaan senasib-sepenanggungan ketika tanah air mereka dihajar krisis.
Baca juga: Ini Penyebab Wajah Benjamin Franklin Ada di Uang Dollar Amerika